PEMIKIRAN MUNAWIR SJADZALI TENTANG REAKTUALISASI HUKUM WARIS
(Studi Kritik Buku Ijtihad Kemanusiaan)
KEWARISAN ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PERSPEKTIF MUNAWIR
SJADZALI
(Studi Kritik Terhadap Pemikiran Reaktualisasi Hukum
Waris Munawir Sjadzali)
A. Latar Belakang Masalah
Pada pertengahan dekade delapan puluhan, Munawir Sjadzali[1]
menawarkan gagasan perlunya reaktualisasi atau kontekstualisasi ajaran Islam,
yang mendapatkan sambutan, atau lebih tepatnya reaksi yang luas, pro dan
kontra. Melalui bukunya yang berjudul Ijtihad Kemanusiaan, ia
mempersembahkan kepada masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia, mengenai
gagasannya tersebut.[2]
Munawir Sjadzali memang jarang dikaitkan dengan liberalisasi Islam. Namun,
idenya tentang “Reaktualisasi Ajaran Islam” membuat namanya mencuat sebagai
tokoh pembaruan Islam.[3]
Sebagai dalam pengantar buku tersebut, DR. Nurcholish Majdid memberikan
sambutan dukungan atas gagasan reaktualisasi ajaran Islam. Agar pembaca dapat
menemukan bahan pemikiran segar tentang masalah keagamaan dari buku Munawir
ini. Menurutnya, persoalan zaman modern tentu lebih ruwet daripada persoalan
sekitar seribu tahun yang lalu. Tetapi dengan menanggung bersama beban
pelaksanaan kewajiban ini, insyaallah kesulitan dapat diatasi. Dan buku Pak Mun
harus dipandang sebagai bentuk penanggungan bersama beban itu.[4] Prof. DR. H. Busthanul Arifin, SH juga memberikan dukungannya, karena
gagasan Munawir tentang “reaktualisasi hukum Islam” ini bukan hanya relevan
untuk masa sekarang, akan tetapi mutlak kita perlukan untuk pembentukan hukum
nasional Indonesia.[5]
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW., lebih dari empat belas abad yang
lalu adalah suatu ajaran yang sangat revolusioner. Kedatangan Islam memicu
revolusi besar dalm kehidupan kaum wanita. Mereka yang dalam masyarakat Arab
sebelum Islam diperlakukan hampir seperti barang atau benda dan dapat diwaris,
oleh Islam diangkat martabatnya dengan diberi kedudukan yang sama dengan kaum
pria di hadapan Allah SWT. Tidak dapat diwaris dan sebaliknya berhak menerima
waris. Inilah Islam Rahmatan lil al-‘Alamin –menurut Munawir- yang dapat
memberikan sumbangan yang amat besar
kepada perkembangan peradaban umat manusia, karena dapat mengangkat martabat
kaum wanita.[6]
Situasi dan kondisi umat Islam kini sangat berbeda dari situasi dan kondisi
umat Islam di zaman Nabi. Kini umat Islam –atau Dunia Islam- sudah jauh
tertinggal oleh Barat.[7]
Sehingga Munawir mencatat dalam sinopsis bukunya, bahwa prestasi peradaban
Barat terus mencari dengan memanfaatkan intelek atau akal budi. Pengembangan
intelektual inilah yang ditengarai telah terhenti di dunia Islam. Akibatnya
wahyu Tuhan dipahami secara tekstual dan bukan secara kontekstual. Dan
menurutnya juga, ijtihad sebagai wujud kreativitas akal menjadi kebutuhan untuk
menghadapi isu-isu kemanusiaan dan peradaban kontemporer.
Melihat realitas kehidupan masyarakat Indonesia, yang menurut Munawwir
Sjadzali, kurang mengamalkan ajaran Islam secara sempurna, maka ia melontarkan
ide kontekstualisasi ajaran Islam yang menimbulkan kontroversi di kalangan
cendekiwan muslim dan ulama pada saat itu. Ide-ide kontekstualisasi ajaran
Islam berupa kedudukan wanita, kedudukan warga non-muslim, bunga bank dan
mengenai perbudakan. Ia berpendapat bahwa pelaksanaan hukum Islam yang
berkaitan dengan hal-hal tersebut tidak relevan lagi. Sebagai contoh ayat
tentang waris bagian anak laki-laki dan anak perempuan dalam surat An-Nisa: 11,
sudah tidak sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia. Maka terhadap ayat
tersebut, menurutnya, perlu diadakan pembaharuan hukum yang sesuai kondisi
Indonesia dengan mengedepankan kebutuhan rasa adil dan kemaslahatan umat Islam.
Sehingga hukum Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin dapat terwujud dalam
kehidupan umat saat ini.[8]
Sebagai contohnya, Munawir menuliskan bahwa masyarakat Surakarta, khususnya
di kalangan pengusaha batik, tulang punggung perusahaan keluarga adalah istri.
Mulai dari pembelian kain putih dan lilin, pengawasan proses produksi, sampai
pemasaran produksi. Peranan suami hanyalah sebagai ‘pembantu utama’, penulis,
penagih hutang, dan pengantar anak ke sekolah. Dalam masyarakat dengan budaya
seperti itu, tidaklah adil kalau anak pria mendapatkan pembagian warisan dua
kali lebih banyak dari saudara perempuannya.[9]
Bagian waris anak laki-laki dan wanita adalah sama dimasukkan juga dalam
pembahasan konsep ‘gender equality’ yang digagas kaum feminis Islam, Musdah
Mulia dan kawan-kawannya. Pada tahun 2004, Tim Pengarusutamaan Gender
Departemen Agama Republik Indonesia menerbitkan sebuah buku bertajuk “Pembaharuan
Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam”. Bukuini telah
menjadi perdebatan hebat di Indonesia, sebab untuk pertama kali dalam sejarah
Imdonesia, sekelompok cendekiawan dari kalangan Muslim yang concern terhadap
masalah gender equality dan berada di bawah naungan Departemen Agama.
Diantara pasal yang menimbulkan selain bagian waris, yaitu perkawinan beda
agama, nikah tanpa wali, masa iddah suami dan lain-lain.[10]
Munawir kembali berpendapat, kalau terjadi situasi yang demikian
memprihatikan sekarang ini adalah disebabkan oleh kegagalan para ilmuwan kita
untuk mengembangkan ajaran Islam. Lagi-lagi ia beralasan akan peradaban dunia
yang semakin maju, sementara pikiran para ilmuwan Islam terhenti dan daya
imaginasi mereka mandek. Menurutnya, kebanyakan mereka –ilmuwan Islam-
cenderung- mengadakan pendekatan harfiyah atau tekstual terhadap a yat-ayat
al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Juga dikarenakan kurang jelinya ilmuwan Islam dalam
mengamati konteks atau situasi dan kondisi pada waktu wahyu-wahyu itu
diturunkan dan/atau petunjuk-petunjuk Nabi itu diberikan.[11]
Padahal, aturan harta warisan telah dijelaskan secara rinci oleh Allah dalam
al-Qur’an. Warisan telah ditetapkan dalam al-Qur’an sebagaimana kewajiban
lainnya. Allah SWT telah menjelaskan tentang pembagian dan hak warisan di
dalamnya.[12]
Salah satu aturan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an tentang kewarisan, yaitu
dalam firman Allah SWT,
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisa: 7)
Said bin Jubair dan Qatadah berkata: “Dahulu, orang-orang musyrik
memberikan hartanya hanya kepada laki-laki dewasa serta tidak memberikan hak
waris kepada kaum wanita dan anak-anak.” Orang-orang Jahiliyyah beranggapan
bahwa perempuan dan anak kecil tidak berhak mendapat warisan karena mereka
tidak bisa ikut berperang sehingga tidak bisa mendapat warisan karena mereka
tidak bisa mendapat harta rampasan perang.[13] Maka
Allah menghilangkan kebiasaan orang-orang Jahiliyyah ini dengan menurunkan ayat
ini.[14]
Firman Allah SWT di atas jelas, bahwa hukum Islam mempunyai nilai-nilai
keadilan dan persamaan yang tinggi. Hal ini berarti laki-laki dan perempuan
sama-sama menjadi ahli waris dari ibu-bapak, dan kerabatnya dengan bagian
masing-masing seperti yang Allah SWT tetapkan di dalam al-Qur’an. Ketetapan
tentang bagian-bagian masing-masing ahli waris itu telah diatur dalam agama
Islam dengan sedemikian rupa. Dimana setiap muslim wajib untuk mentaati
ketetapan tentang bagian masing-masing yang telah diatur bagi laki-laki dan
perempuan. Dalam Islam, pembagian warisan tidak menimbulkan perselisihan antara
yang kecil dengan yang besar, antara laki-laki dengan perempuan. Akan tetapi,
Islam telah menetapkan ketentuannya sesuai bagiannya secara pasti bagi
masing-masing ahli waris.[15]
Dalam hal ini Allah telah menetapkan bagian perempuan dalam warisan dan
belum menjelaskan berapa kadar bagian tersebut.[16] Penjelasan
bagian hak warisan selanjutnya dijelaskan dalam ayat mawarits surat An-Nisa
ayat 11, 12, dan diakhir surat ini.[17]
Sa’id bin Musayyib, Adl-Dlihak, dan Ibnu Abbas dalam riwayat Atho’ berkata,
“Ayat ini dihapus dengan ayat mawarits, surat An-Nisa ayat 11.[18]
Firman Allah SWT.,:
“Allah mensyariatkan (mewajibkan)kepadamu
tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak
laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu
semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkannya. Jika dia (anak perempuan) itu seorang
saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua
ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai
anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi)
wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang ) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Mahabijaksana. (QS. An-Nisa: 11)
Ibnu Abbas berkata, “Harta warisan dan wasiat bagian hanya untuk kedua
orang tua dan kerabat-kerabatnya, maka Allah menghapus itu semua. Dan
menjadikan bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan.”[19]
Jabir berkata, “Rasulullah dan Abu Bakar sambil berjalan kaki mengunjungiku
di Bani Salamah, Rasulullah mendapatiku tak sadarkan diri, lalu beliau meminta
air lantas berwudhu darinya. Kemudian ia memercikkan air itu ke mulutku, aku
pun tersadar, aku berkata: “Wahai Rasulullah! Apa yang engkau perintahkan
kepadaku untuk aku perbuat pada hartaku? Maka turunlah ayat faraidh ini.
(HR. Bukhari, no. 5676)[20]
Betapa sangat penting masalah warisan ini sehingga di dalam Kitab Suci-Nya,
Allah langsung menentukan bagian dari masing-masing ahli waris. Sedangkan
Sunnah Rasul hanya menambahkan beberapa hukum yang ringan. Ini adalah karunia
Allah yang tidak dimengerti oleh kaum yang mengedepankan akal sebagai
ukurannya. Karena warisan adalah warisan dari Allah ditetapkan dalam Kitab-Nya.
Dan setiap perselisihan mengenai pembagian warisan ini tertolak dengan dzahir
ayat yang ada didalamnya.[21]
Apalagi penjelasan Munawwir jelas-jelas mengubahnya.
Aturan harta telah dijelaskan dengan nash dari al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma.
Sebagaimana hukum shalat, zakat, muamalah dan had. Wajib untuk melaksanakan
aturan tersebut. Tidak boleh mengubahnya atau bahkan keluar dari aturannya.
Walaupun dengan semakin berkembangnya zaman modern.[22]
Dalilnya diakhir ayat mawarits Allah menjelaskan, barangsiapa yang
melaksanakan ketentuannya maka baginya jaminan surga. Dan bagi yang tidak
melaksanakannya maka akan dimasukkannya ke dalam neraka.[23]
Setelah menjelaskan warisan menurut Munawir dan ketentuannya dalam Islam.
Inti dari gagasan yang dikemukakan Munawir adalah tentang perlunya
mempertimbangkan konteks kehidupan sosial-budaya masyarakat dalam memahami dan
membuat kesimpulan hukum dari ayat-ayat al-Qur’an dalam bidang kemasyarakatan.
Tanpa melakukannya kontekstualisasi tersebut, ajaran Islam akan ketinggalan
zaman, atau kehilangan relevansinya untuk zaman modern ini, atau ajaran
tersebut menjadi mati (tidak dapat diamalkan). Oleh karenanya, penulis ingin
meneliti lebih dalam metode istinbathnya Munawir sehingga beliau menggagas
idenya tersebut. Sekaligus mengkritiknya, karena pemahaman nash waris yang ia
protes menyelisihi hukum syariat dalam harta warisan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang warisan?
2. Bagaimana pemikiran Munawir Sjadzali tentang kewarisan Islam?
3. Apa landasan Munawir dalam mereaktualisasi hukum waris?
4. Bagaimana kritik terhadap pemikiran Munawir tentang reaktualisasi hukum waris?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pandangan hukum Islam tentang warisan.
2. Mengetahui pemikiran Munawir Sjadzali tentang kewarisan Islam.
3. Mengetahui landasan Munawir dalam mereaktualisasi hukum waris.
4. Mengembangkan kritik terhadap pemikiran Munawir seputar hukum waris.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
a. Bahan kajian untuk menambah khazanah
pengembangan ilmu pengetahuan bagi kalangan akademis maupun masyarakat pada
umumnya.
b. Bahan informasi ilmiah bagi para pembaca dan
yang lainnya untuk mengkaji permasalahan kewarisan seperti ini, namun dari
aspek yang berbeda.
2. Secara Praktis
a. Bagi umat Islam
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengetahuan agar tidak
mudah mengekor pada paham pemikiran feminis yang salah satunya adalah
menyamaratakan hukum waris bagian laki-laki dan perempuan. Agar umat Islam
memahami bahwasanya hukum waris bukanlah ditentukan oleh keadilan manusia akan
tetapi ketetapan atas keadilannya langsung oleh Allah SWT., dalam nash
al-Qur’an.
b. Bagi penulis
Sebagai pengetahuan bagi peneliti yang dapat bermanfaat di kemudian hari
dan dapt digunakan oleh peneliti dalam memberikan pengertian terhadap
masyarakat terhadap hukum waris Islam.
E. Kajian Pustaka
Beberapa tulisan yang mengkaji tentang hukum waris dalam perspektif Munawir
Sjadzali diantaranya adalah:
1. Dalam bukunya Munawir Sjadzali sendiri, Ijtihad
Kemanusiaan, menerangkan bahwa jika penafsiran al-Qur’an dilakukan secara
menyeluruh, dalam arti bahwa penafsiran yang dilakukan senantiasa mengaitkan
antara ayat yang satu dengan ayat yang lain, maka permasalahan pembagian waris
dapat diatasi. Ayat 176 dalam surat An-Nisa yang secara eksplisit menyatakan bahwa
anak laki-laki mendapat bagian dua kali lebih besar dari anak perempuan.
Apabila dikaitkan dengan surat lain yang berisi perintah untuk berbuat adil dan
kebajikan, maka akan terlahir suatu pemahaman bahwa suatu ketentuan hukum itu
harus sesuai dengan semangat keadilan di tengah masyarakat, dimana hukum itu
akan diberlakukan. Inilah salah satu landasan pemikiran Munawir dalam bukunya
tersebut.
2. Dalam Skripsi, Zaitun Ningsih, UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang, tahun 2012 dengan judul Reaktualiasasi Hukum Islam
Munawir Sjadzali Bidang Kewarisan Ditinjau Dari Hukum Progresif. Dalam
skripsi tersebut. Zaitun stuju dengan pendapat reaktualisasinya Munawir
Sjadzali bahwa dalam melaksanakan hukum waris, khususnya antara anak laki-laki
dan perempuan, hendaknya kita sebagai umat Islam, tidak menutup mata terhadap
perubahan interaksi sosial, budaya dan lingkungan dimana waris tersebut akan
dibagikan. Adapun dalam skripsi yang akan penulis bahas, penulis tidak setuju
dengan ijtihad Munawir bahwa perubahan hukum itu, berdasarkan zaman, tempat dan
keadaan. Dan penulis akan mencoba untuk mengcounter ijtihad yang tidak sesuai
tersebut.
3. Dalam jurnal Syukri Abubakar, Pemikiran
Munawir Sjadzali Tentang Pembagian Waris Di Indonesia, Dosen Sekolah Tinggi
Ilmu Syariah Al-Ittihad Bima. Beliau memberi kesimpulan dari pendapat Munawir
bahwa bila suatu masyarakat menghendaki ketetapan pembagian waris bagian anak
laki-laki dengan bagian anak perempuan itu seimbang, dan mereka menganggap
bahwa pembagian yang demikian itu adil, maka pembagian demikianlah yang
dipakai. Sedangkan penulis akan memberikan statement bahwa ketetapan pembagian
waris ini qathi’ dalam al-Qur’an dan termasuk ayat hukum yang tidak bisa diubah
oleh siapapun.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan jenis penelitiannya, maka penelitian ini disebut dengan studi
(penelitian) kepustakaan. Yaitu penelitian yang menekankan pustaka sebagai
objek studi. Pustaka sendiri adalah hasil olah budi manusia guna menuangkan
gagasannya dari seorang ataupun sekelompok orang.[24]
Dalam skripsi ini, yang menjadi objek penelitiannya adalah karya Munawir
Sjadzali sendiri, sehingga penelitian ini termasuk dalam kategori studi
pustaka.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan
jalan dokumentasi[25]
yaitu dengan mengumpulkan data yang diperoleh, kemudian dikelompokkan menjadi
dua; primer dan sekunder.
3. Analisis Data
Adapun dalam menganalisa data tersebut digunakan metode analisa yang
dilakukan dengan jalan content analysis[26],
yaitu analisis secara langsung pada deskripsi isi pembahasan buku primer di
atas, dengan jalan mengkajinya secara kritis, menganalisa isi pesan dan
mengolahnya untuk menangkap isi pesan implisit yang terkandung di dalamnya.
G. Sistematika Penulisan
BAB I: Merupakan kerangka dasar penulisan skripsi yang didahului dengan sebuah
pendahuluan. Adapun sistematika pembahasannya berisi: Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Tinjauan Pustaka dan
Metode Penelitian.
BAB II: Bab ini berisi landasan teori yang terdiri dari Defini, Masyru’iyyah,
Syarat-Syarat, Hikmah dan Ketentuan Warisan.
BAB III: Dalam bab ini peneliti akan menyajikan Biografi Munawir Sjadzali, Pemikiran
Munawir Sjadzali tentang Reaktualisasi Hukum Waris serta landasan yang dipakai
dalam menyimpulkan kewarisan.
BAB IV: Bab ini merupakan bagaian inti yang
berisi analisa kritik terhadap buah pemikiran Munawir Sjadzali terkait
reaktualisasi hukum waris. Di dalamnya akan disebutkan metode istinbathnya yang
disusul dengan bantahan untuk ide reaktualisasi tersebut.
BAB V: Skripsi ini ditutup dengan kesimpulan dan saran. Hal ini penting sebagai
penegasan kembali hasil penelitian yang ada pada bab empat, sehingga pembaca
dapat memahaminya secara konkrit dan utuh. Adapun saran, merupakan
harapan-harapan dan anjuran penulis kepada pembaca hasil penelitian.
Outline Skripsi
I
Pendahuluan
II
Tinjauan Umum tentang Waris dalam Islam
Pengertian Waris
Dasar Hukum Waris
Hikmah dan Ketentuan Waris
dalam Islam
III
1Biografi Munawwir Sjadzali
2Pemikiran Munawir Sjadzali Seputar Reaktualisasi Hukum Waris
1Ayat-ayat Al-Qur’an Dalam Pandangan Munawir Sjadzali
(metode istinbath hukum)
Keuniversalan
dan Keabadian Al-Qur’an
Naskh dan Mansukh
Ayat-Ayat
Teporal
Pemahaman
Al-Qur’an Antara Tekstual dan Kontekstual
Maqashid
At-Tasyri’
2Posisi Anak Laki-laki dan Perempuan Dalam Kewarisan
3Reaktualisasi Hukum Waris Munawir Sjadzali
Latar
Belakang Reaktualisasi Hukum Waris
Bentuk
Reaktualisasi Hukum Waris
IV
Analisis Pemikiran Munawir Sjadzali tentang Reaktualisasi Hukum Waris
Analisis Pemikiran
Analisis Metode Istinbath
V
Kesimpulan
Saran-Saran
Penutup
NB: Catatan merah adalah masih dalam koreksi peneliti.
[1] Beliau adalah mantan Menteri Agama Republik Indonesia periode 1983-1988 dan
1988-1993.
[2] Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA., Ijtihad Kemanusiaan, Cet. Ke-1,
(Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997 M), hlm. ix
[3] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, Cet. Ke-7,
(Jakarta: Penerbit Hujjah Press, 2010 M), hlm. 57
[4] Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA., Ijtihad Kemanusiaan..., hlm. xv
[5] Ibid, hlm. xxii
[6] Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA., Ijtihad Kemanusiaan..., hlm. 2
[7] Ibid, hlm. 3
[8] Lih. Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA., Ijtihad Kemanusiaan...,
hlm. 7
[9] Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA., Ijtihad Kemanusiaan..., hlm. 8
[10] Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi,
Cet. Ke-1, (Jakarta: Gema Insani, 2006 M), hlm. 266, Budi Handrianto, 50
Tokoh Islam Liberal Indonesia..., hlm. 239
[11] Prof. Dr. H. Munawir
Sjadzali, MA., Ijtihad Kemanusiaan..., hlm. 27
[12] Asbab
al-Irts wa Mawani’ihi , hlm. 9, Dr. Musthafa al-Khin, Fiqh
al-Munhy, Cet. Ke-9, Jilid. 2, (Damaskus: Daar al-Qalam, 2008 M), hlm. 272
[13] Lih. Tafsir
al-Qurthuby, hlm. 32
[14] Lih. Tafsir
Ibnu Katsir, hlm 305, Abdurrahman bin Nasir as-Sa’di, Tafsir al-Karim
ar-Rahman, Cet. Ke-1, (Beirut: Daar Ibnu Hazm, 2003 M), hlm. 147, Abu
Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thobary, Tafsir Ath-Thobary, Cet. Ke- 4 ,
Jilid. 3, (Qahirah: Daar as-Salam, 2009 M), hlm. 2157
[15] Muhammad Ali
ash-Shabuny, al-Mawarits fii asy-Syari’ati al-Islamiyah fii Dhou al-Kitab
was Sunnah, (Al-Azhar: Daar al-Hadits, t.th), hlm. 18
[16] Ahmad al-Anshory al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby, Cet. Ke-3, Jilid.
3, (Beirut: Daar al-Fikr, 2010 M), hlm. 32
[17] Muhammad al-Amin Asy-Syinqity, Adhwaul Bayan fii Idhohul Qur’an bil
Qur’an, Cet. Ke-1, Jilid. 1, (Beirut: Daar al-Fikr, 2005 M), hlm 224
[18] Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily, Tafsir al-Munir, Cet. Ke-, Jilid. 2, (Damaskus:
Daar al-Fikr, 2011 M) hlm. 595
[19] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thobary, Tafsir Ath-Thobary...,
hlm. 2171, Ahmad al-Anshory al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby..., hlm. 39
[20] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thobary, Tafsir Ath-Thobary...,
hlm. 2172
[21] Ahmad al-Anshory al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby..., hlm. 40
[22] Dr. Musthafa al-Khin, Fiqh al-Munhy,,,, hlm. 272
[23] Ahmad al-Anshory al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby..., hlm. 54
[24] Ibnu Subiyanto, Metodologi Penelitian (Seri Diktat Kuliah), (ttp:
t.p, t.t), hlm. 93
[25] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek,
Cet. Ke-8, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992 M), hlm. 200
[26] Imam Supriyogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, Cet.
Ke- 2, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003 M), hlm. 71