Belajar
dari sosok Ibu Tri
Hidup dalam
lingkup jamaah tentulah dengan aturan yang syar’I dan tetap pada jalan yang
benar. Apalagi jamaahnya jamaah kaum muslimin. Bersatu tetap teguh, bagai sapu
lidi yang tak dapat dipisahkan.
Inilah
kehidupanku. Hidup dalam sebuah asrama yang tentu dan pasti ada sebuah halaqoh
yang senantiasa mengikat kehidupan orang asrama. Dan disana hidup seorang
pimpinannya, biasa disebut murobiyah bagi sebagian kalangan. Ada juga yang
mengatakan sang pencerah bagi kehidupannya. Ibu Tri namanya.
Belajar dari
sosok kelembutannya, aku merasa malu menjadi seorang wanita yang belum bisa
lembut. Belajar dari keilmuannya, memang beliau bukanlah ber-background alumni
pesantren. Namun, kesungguhan beliau dalam menuntut ilmu agama di usia yang
sudah cukup lanjut tak mengalahkannya. Hingga di usia berkepala 2, beliau dapat
menyelesaikan hapalan mushaf al-Qur’an dengan begitu cepat. Itulah barakah ilmu
bagi beliau yang Allah anugrahkan padanya.
Yang paling aku
takutkan ketika melihat wajahnya di kampus atau asrama bukanlah wajah seramnya
seperti garangnya ibu jahat. Namun, wajahnya yang teguh mampu membuatu takut
sama Allah, karena aku merasa telah berbuat dosa pada Allah. Bukan takut pada
ibu Trinya, tapi melalui wajah beliau sebagai wasilah aku menjadi bulu kuduk-ku
merinding.
Pernah suatu
pagi, jadwal setoran hapalan al-Qur’an sama bu Tri. Dari sejak malam aku sudah
tegang, hingga ketika aku berangkat dari asrama ke rumah beliau pun rasa tegang
itu tak hilang. Antrian dengan mahasiswa lain pun terus berlanjut, hingga
giliranku yang terakhir. Dan waktu sudah terlihat matahari memunculkan
sinarnya. Kisaran jam 6 kurang lebih. Aku pun maju sesuai dengan kemampuan
hapalanku yang pas-pasan dan biasa. Di akhir biasanya ada petuah, agar
senantiasa diperbaiki kembali tahsin, tajwid dan makhorijul hurufnya. Dan kali
ini beda. Beliau berkata, “Ko tegang begitu sich?”. “Iya, bu. Baru saja saya
perjalanan dari asrama ke sini, tegang sudah membuatku basah kuyup di pagi
hari” jawabku.
Masyaallah,
tabarakallahu ta’ala. Padahal rumah beliau itu hanya kisaran 50 meter dari
asrama. Keluar dari gerbang dan menyebarang jalan. Kemudian masuk area masjid,
pilih jalan paling ujung masjid. Itulah rumah beliau. Seperti rumahnya
Rasulullah. Disamping masjid. Kiasan sedikitlah.
Ketika kita
menjadi muslim yang dapat menjadikan seseorang mengingat Allah, maka tiada tara
pahala bagi hambanya. Dengan perilaku yang agak aneh ini. Semoga dapat
menjadikan kemudahan bagi beliau kelak. Terutama ketika beliau akan melahirkan.
Bulan depan beliau akan cuti dari kampus juga asramaku. Karena udzur akan
melahirakan. Kisaran 3 bulanan beliau akan meninggalkan ruang kuliahku. Dan
sudah tiga 4 kali beliau melahirkan titipan Allah dalam rahimnya dengan ragam
ujian. Mulai caesar, keguguran dan sungsang. Namun, beliau tak ada terlihat
dalam wajahnya yang menyerah. Selalu tampak ceria dan jernih. Kuat dan tabah.
Sabar dan syukur. Tabarakallahu ta’ala.
Dan dalam
artikel santai ini, aku akan tulisan harapan impian doa dan cita-citaku. Agar
Allah meliputinya dalam kemudahan disaat melahirkan anak yang ke-5 ini.
Tambahan doanya laki-laki. Dan yang paling utama adalah lahir normal
sebagaimana wanita biasa, selamat, sehat dan barakah. Aamiin…
Salam rindu.
SFA asal
Kuningan, Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar