HUKUM MEWAKILKAN PERWALIAN NIKAH KEPADA KUA
Oleh: Ibnu El-Qomaru
I.
Pendahuluan
Tuntunan
ibadah dalam agama Islam jelas dan aturannya pun tidak akan menyulitkan bagi
setiap hamba. Nikah adalah salah satu ibadah yang juga penting seperti ibadah
lainnya. Sehingga melaksanakannya pun harus dengan memperhatikan dengan jelas
aturan-aturan yang ada dalam perkara tersebut.
Salah satu
rukun nikah adalah adanya wali bagi mempelai perempuan. Namun tidak semua pihak
dapat menghadirkan walinya saat melaksanakan akad nikah ini. Karena memang
walinya sudah meninggal, atau hidupnya berjauhan sehingga udzur menjadi wali.
Dan pada akhirnya, karena didesak oleh pihak pengurus KUA, wali pun mewakilkan
perwaliannya pada pihak tersebut. Padahal, masih ada wakil wali yang masih bisa
menggantikannya. Pada permasalah ini, ada juga seorang ayah perempuan yang
menyerahkan perwalian nikah anaknya pada KUA, padahal ayah tersebut mampu
menjadi wali nikah. Tidak ada sebab sakit atau udzur lainnya.
Dari sekian
kasus perwalian nikah, ada keraguan di dalam pelaksanaan akad nikah tersebut.
Apakah sah nikahnya seorang perempuan yang perwaliannya oleh KUA? Oleh karena
itu, penulis akan memaparkan pembahasan ini, dan bagaimana juga undang-undang
perwalian nikah di Indonesia menjelaskan hal ini.
II.
Pembahasan
A.
Pengertian
1.
Wali
Al-Wali secara
Bahasa adalah orang mengurusi suatu perkara seseorang.[1]
Sedangkan waliyul mar’ah adalah seseorang yang menjadi wali pada akad nikahnya,
karena tanpa adanya wali maka tidak akan menyebabkan adanya akad nikah.[2]
Wali dalam
nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya wali, yaitu ayah atau ahli waris,
kerabat dari ayah, yang memerdekakan, dan sultan pemerintahan.[3]
2.
Wakil
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, wakil adalah orang yang dikuasakan
menggantikan orang lain. Sedangkan wakil nikah adalah orang yang menggantikan
laki-laki dalam melaksanakan upacara pernikahan.[4]
Sedangkan dalam
kamus Munawwir, wakil adalah menjadikan wakil, menunjuk sebagai wakil.[5]
Wakaalah juga artinya
penyerahan. Misalnya, wakkala amrahu ilaa fulaan (dia menyerahkan
urusannya kepada si fulan). Dalam definisi syara’, wakaalah menurut para
ulama madzhab Hanafi adalah tindakan seseorang menempatkan orang lain
ditempatnya untuk melakukan tindakan hukum yang tidak mengikat dan diketahui.
Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa wakaalah adalah penyerahan
kewenangan terhadap sesuatu yang boleh dilakukan sendiri dan bisa diwakilkan
kepada orang lain, untuk dilakukan oleh wakil tersebut selama pemilik
kewenangan asli masih hidup.[6]
3.
Nikah
Nikah menurut
etimologi, secara sebenarnya adalah hubungan badan, secara majaz disebut untuk
akad. Semua kata nikah yang disebut dalam al-Qur’an, artinya adalah akad,
selain firman Allah ta’ala,
فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى
تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain.” (QS. Al-Baqarah: 230). Karena yang
dimaksud dalam ayat ini adalah hubungan badan.[7]
4.
Perwalian
Mewalikan
adalah kata kerja dari kata wali yang berarti menjadi wali. Sedangkan perwalian
adalah orang segala sesuatu yang berkaitan dengan wali.[8]
Makna perwalian menurut bahasa adalah, rasa
cinta dan pertolongan, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT.,
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ
آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
“Barangsiapa yang mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah
yang pasti menang.” (QS. Al-Maidah: 56). Bisa
juga bermakna kekuasaan dan kemampuan. Dikatakan “al-Waali” yang berarti
pemilik kekuasaan.
Dalam istilah, fuqaha memiliki makna
kemampuan untuk langsung bertindak dengan tanpa bergantung kepada izin
seseorang. Orang yang melaksanakan akad ini dinamakan wali.
Pembagian perwalian
Madzhab Hanafi membagi perwalian menjadi 3
bagian; perwalian terhadap diri, perwalian terhadap harta, dan perwalian
terhadap jiwa dan harta. Sedangkan yang menjadi inti pembahasan dalam
perkawinan adalah perwalian terhadap diri.
Jenis perwalian terhadap diri menjadi 2
bagian:
a. Perwalian ijbar, yaitu mengucapkan
perkataan yang harus dilaksanakan oleh orang lain. Dengan makna umum ini,
perwalian ditetapkan dengan empat sebab kekerabatan, kepemilikan, perwalian dan
imam.
b. Perwalian akibat hubungan kekerabatan,
ditetapkan bagi pemilik perwalian ini akibat adanya hubungan kekerabatan dengan
orang yang ia walikan, baik akibat hubungan kekerabtan yang dekat, seperti
bapak, kakek, dan anak, atau akibat hubungan kekerabatan yang jauh, seperti
anak laki-laki paman dari pihak ibu dan anak laki-laki paman dari pihak bapak.[9]
5.
Perwakilan wali nikah
Mewakilkan
adalah menunjuk orawng sebagai wakil. Sedangkan perwakilan adalah segala
sesuatu tentang wakil.[10]
Maka perwakilan adalah salah satu jenis perwalian, akibat berlakunya tindakan
wakil terhadap orang dia wakili sebagaimana berlakunya tindakan wali terhadap
orang yang dia walikan.[11]
6.
KUA (Kantor Urusan Agama)
Dalam wikipedia, kantor urusan agama disingkat KUA adalah kantor yang melaksanakan
sebagian tugas kantor Kementrian Agama Indonesia di kabupaten dan kotamadya
dibidang urusan agama Islam dalam wilayah kecamatan.[12]
B.
Dalil tentang Perwalian dan
Perwakilan Nikah
Jumhur ulama
seperti madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah dan dilengkapi madzhab Dzohiriyah
sepakat untuk menjadikan posisi wali sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun
sebuah akad nikah. Dan bahwa tanpa adanya wali, maka sebuah akad pernikahan
menjadi tidak sah hukumnya. Keharusan adanya wali menurut jumhur ulama
didasarkan pada banyak dalil, baik dari al-Qur’an maupun Sunnah, antara lain
firman Allah ta’ala:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى
يُؤْمِنَّ
“Dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman…” (QS.
Al-Baqarah: 221)
Al-Qurthubi
berkata dalam tafsirnya, “Dalam ayat tersebut terdapat dalil bahwa tidak ada
pernikahan kecuali dengan adanya wali. Muhammad bin Ali bin Al-Husain berkata,
“Pernikahan yang mengharuskan adanya wali itu terdapat dalam al-Qur’an.
Kemudian ia membacakan ayatnya.”[13]
Sesungguhnya akad nikah ada ditangan wali bukan ditangan wanita. Ayat ini
mengisyaratkan bahwa dalam sebuah pernikahan itu ada wali yang kedudukannya
menikahkan seorang wanita dan bukan wanita itu yang menikahkan dirinya sendiri.[14]
Jumhur ulama
juga bersandar dengan hadits yang diriwayatkan Az-Zuhri dari ‘Aisyah ra.,:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إذْنِ
وَلَيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ
دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوْا
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَ لَهُ
“Dari
‘Aisyah ra., bahwasannya Rasulullah SAW., bersabda: Setiap perempuan yang
menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya” itu batal, pernikahannya itu
batal, pernikahannya itu batal. Namun, jika perempuan tersebut telah digauli,
mka baginya maharnya sebagai ganti ia telah menghalalkan kemaluannya. Dan jika
mereka (para wali) berselisih, maka
penguasa / pemerintah adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Tirmidzi)[15]
Hadits ini
menunjukkan, bahwasannya Nabi SAW., menghukumi nikahnya wanita dengan
sendirinya tanpa ada izin dari walinya dengan dua kerusakan. Nabi mengulanginya
tiga kali sebagai penguat akan rusaknya pernikahan tersebut.[16]
Nabi SAW., bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ
“Dari Abu Musa
al-Asy’ary ra., sesungguhnya NAbi SAW bersabda: Tidak ada nikah kecuali dengan
adanya wali.” (HR. Ashabu Sunnah).[17]
Hadits ini jelas, bahwasannya dalam nikah tidak sah tanpa adanya wali.[18]
لاَ
تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ ، وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا
“Dari Abi
Hurairah ra., berkata, bahwasannya Rasululah SAW., bersabda: Perempuan tidak
bisa menikahkan perempuan lainnya, begitu juga perempuan tidak bisa menikahkan
dirinya sendiri.” (HR. Ibnu Majah)[19]
Nabi SAW.,
melarang seorang wanita untuk menikahkan dirinya sendiri. Ini menunjukkan
rusaknya pernikahan tersebut, karena pelarangan ini secara dzat perbuatannya
menunjukkan pada kerusakan.[20]
Perwakilan secara umum disyari’atkan dalam
muamalah, sebagaimana nikah. Dan telah disyariatkannya mewakilkan dalam
pernikahan dengan perbuatan Rasulullah SAW., telah diriwayatkan bahwa Rasulullah
pernah mewakilkan pernikahannya dengan Maimunah kepada Abu Rafi’, dan
mewakilkan pernikahannya dengan Ummu Habibah kepada ‘Amru bin Umayah.[21]
Kaidah yang
disebutkan para ulama adalah, semua akad yang dapat dilakukan seseorang oleh
dirinya, dapat dia wakilkan kepada orang lain,[22]
seperti jual beli atau pernikahan.
C.
Syarat wali nikah
Para fuqaha
besepakat bahwa wali adalah syarat dalam sahnya pernikahan wanita. Para wali
disyaratkan beberapa syarat yang disepakati para fuqaha, yaitu:
1.
Kemampuan yang sempurna: baligh,
berakal, dan merdeka. Tidak ada hak wali bagi anak kecil, orang gila, orang
idiot (yang memiliki kelemahan akal), mabuk juga orang yang memiliki pendapat
yang terganggu akibat kerentaan atau gangguan pada akal. Sedangkan budak,
karena dia sibuk untuk melayani tuannya, maka dia tidak memiliki waktu untuk
memperhatikan persoalan orang lain.
2.
Adanya kesamaan agama antara orang
yang mewakilkan dan diwalikan. Oleh karena itu, tidak ada perwalian bagi orang
non-muslim terhadap orang muslim, juga bagi orang muslim terhadap orang
non-muslim.[23]
Pasal 51 UU
no.1 tahun 1974 tentang perkawinan ayat (2) mensyaratkan agar seorang wali
sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur an berkelakuan baik.[24]
Disamping itu
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memberikan ketentuan pada pasal 107 ayat (4)
agar wali itu harus orang yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan
berkelakuan baik, atau badan hukum, dan diutamakan agar wali itu
sedapat-dapatnya diambilkan dari keluarga anak tersebut dan apabila terpaksa dapat
dilakukan oleh orang lain.[25]
Dalam persyaratan bagi seorang wakil wali
nikah sebagaimana syarat bagi wali nikah, yaitu laki-laki, baligh, merdeka,
islam, tidak sedang dalam ihram haji atau umrah dan tidak lemah akal.[26]
D.
Urutan Wali Nikah
Orang yang berhak menikahkan wanita yang
merdeka adalah ayahnya. Karena budak wanita tidak ada perwalian kepada ayahnya,
melainkan kepada tuannya. Tidak ada perselisihan dalam hal ini sebagaimana kita
mengetahuinya. Maka tidak ada perwalian selainnya, serta tidak berhak bagi
orang lain untuk menikahkan wanita merdeka selain ayahnya.
Orang yang mempunyai hak perwalian dan
urutan wali, yaitu:
1. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa perwalian
adalah perwalian ijbar saja. Dalam urutan berikut ini:
a. Anak dan anaknya anak
b. Bapak dan kakek yang asli
c. Saudara laki-laki sekandung
d. Paman sekandung
e. Orang yang memerdekakan, keudian kerabat
‘ashabahnya secara nasab
f. Kemudian penguasa atau wakilnya yang
merupakan qadhi; karena dia adalah perwakilan kelompok umat Islam
2. Madzhab Maliki berpendapat, ada wali ijbar,
dan bukan wali ijbar. Perwalian ijbar dimiliki oleh salah satu dari tiga orang
yang berdasarkan urutan ini:
a. Tuan yang merupakan pemilik meskipun
seorang perempuan.
b. Bapak. Baik orang yang dewasa mauun orang
yang bodoh yang memiliki pendapat
c. Orang yang diberikan wasiat oleh bapak.
3. Perwalian menurut madzhab Syafi’i dan
Hanbali terbagi menjadi dua; wali mujbir dan bukan mujbir. Wali mujbir adalah
salah satu dari ketiga orang ini; bapak, kakek dan nasab keatasnya. Sedangkan
wali yang bukan mujbir yaitu bapak, kakek, dan orang lainnya yang tidak
memiliki hubungan kerabat ‘ashabah.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan
sesungguhnya anak lebih didahulukan daripada bapak menurut madzhab Hanafi dan
Maliki. Bapak lebih didahulukan daripada anaka menurut madzhab Hanbali. Menurut
pendapat madzhab Syafi’i, anak tidak memiliki hak perwalian.[27]
Dan perwakilan kepada orang lain termasuk pada urutan terakhir. Baik orang lain
tersebut wali hakim maupun petugas KUA sekalipun.
E.
Hukum Perwalian Nikah pada KUA
Pada dasarnya,
setiap orang yang memiliki sesuatu ia berhak untuk merubah dan mewakilkannya
pada orang lain, selama perkara tersebut merupakan perkara yang sah apabila
diwakilkan. Dan tidak diragukan lagi, akad nikah merupakan suatu perkara yang
sah jika diwakilkan dalam pelaksanannnya, maka sah setiap wali untuk mewakilkan
akad nikah anaknya kepada orang lain.[28]
Berikut pendapat imam madzhab tentang hukum perwakilan wali nikah:
1.
Pendapat Hanafiyah adalah boleh
seorang wanita dewasa, baik perawan maupun janda untuk mewakilkan pernikahan
pada orang lain untuk melangsungkan akad nikahnya. Begitupun dengan seorang
laki-laki yang memiliki kemampuan untuk menikah. Dengan syarat dalam perwakilannya
adalah seorang yang ahli dalam hal nikah baik laki-laki maupun perempuan. Tidak
sah wakilnya seorang anak kecil yang tidak berakal, dan juga seorang yang gila.
Dan tidak perlu melaksanaan pengakuan dari wakil. Karena menurut mereka seorang
perempuan memiliki hak untuk mengawinkan dirinya sendiri, maka dia juga
memiliki hak untuk mewakilkan orang lain dalam akad pernikahan.
2.
Pendapat Malikiyah, boleh seorang
wali mewakilkan nikah pada orang lain. Dengan syarat yang telah dibahas diatas.
3.
Pendapat Syafi’iyah, diperbolehkan
bagi seorang wali mewakilkan perwaliannya pada orang lain, baik wali mujbir
maupun ghairu mujbir. Wali boleh mewakilkan perwalian nikah pada orang lain untuk
menikahkan wanita tanpa seizin wanita yang akan dinikahkannya. Syarat wakil
nikah sama seperti pembahasan wakalah. Jika seorang wakil nikah adalah seorang
yang fasiq maka tidak sah, karena fasik merampas perwakilan dari aslinya maka tidak ada hak kepemilikan dalam
perwakilan tersebut.[29]
Jika wali mujbir mewakilkan perwaliannya pada seseorang, maka tidak perlu izin
pada wanitanya.[30]
4.
Pendapat Hanabilah, sah seorang wali mujbir atau selainnya untuk
mewakilkan pernikahan kepada kerabat dekat tanpa izin wanitanya. Karena wali
berhak atas pelaksanaan akad nikah, maka mewakilkan pada orang lain pun adalah
haknya wali. Dan syarat seorang wakil izin pada wanita yang akan dinikahkannya
setelah si wakil mendapat perwakilan dari wali wanit, bukan sebelum mendapat
perwakilan. Jika sebelumnya, maka tidak sah perwakilan tersebut. Syarat seorang
wali nikah sebagaimana syaratnya wali; laki-laki, dewasa dan selain keduanya
sebagaimana yang telah disebutkan. Tidak sah yang melaksanakan perwakilan dalam
nikahnya wanita selain dari keluarganya.
Dari perincian
diatas, perwakilan dapat dilakukan dengan ungkapan maupun tulisan. Para fuqaha
sepakat bahwa tidak disyaratkan adanya saksi pada saat perwakilan dilakukan.
Jumhur fuqaha,
selain madzhab Hanafi berpendapat bahwa seorang perempuan tidak boleh mewakilkan
orang selain walinya untuk mengawininya. Karena dia tidak memiliki pelaksanaan
akad untuk dirinya sendiri, maka dia tidak memiliki hak untuk mewakilkan orang
lain dalam perkara ini. Akan tetapi, wali mujbir si perempuan boleh
mewakilkan orang lain untuk menikahkannya tanpa seizin perempuannya.
Sebagaimana seorang wali boleh menikahkan perempuan tanpa seizinnya.[31]
Penting untuk
diketahui bahwa seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya itu kepada
orang lain, meski tidak termasuk dalam daftar para wali. Hal itu biasa sering
dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta kepada tokoh ulama setempat untuk
menjadi wakil dari wali yang sah.
Dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bab Perwalian pasal
51 ayat (1), disebutkan: “Wali dapat ditunjuk oleh salah satu orang tua yang
menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau
dengan lisan dihadapan 2 (dua) orang saksi.”[32]
Kompilasi
Hukum Islam memberikan ketentuan tentang kebolehan perwakilan perwalian dalam
pernikahan sebagaimana tercantum pada pasal 28 yaitu: “Akad nikah dilaksanakan
sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat
mewakilkan kepada orang lain.”[33]
Dari
penjelasan diatas, dapat disimpulkan diperbolehkannya mewakilkan perwalian
nikah pada KUA. Karena jumhur fuqaha membolehkan mewakilkan perwalian pada
orang lain selain kerabatnya sebagaimana yang dijelaskan diatas. Dan secara
perundang-undangan juga memperbolehkan perwakilan dalam nikah.
Dalam praktek
akad nikah seringkali terjadi pernikahan melalui wakil terutama pada pihak wali
dari calon istri. Dalam pernikahan yang diwakilkan pada orang lain, wali pun
ada yang ikut serta menyaksikan akad pernikahan anaknya. Dalam hal ini ulama
berbeda pendapat.
Dalam kitab
al-Mughni disebutkan, diperbolehkannya perwakilan wali nikah, baik walinya
hadir maupun tidak ada wali, baik wali mujbir maupun ghoiru mujbir.
Karena telah diriwayatkan bahwasannya Nabi SAW., telah diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah mewakilkan pernikahannya
dengan Maimunah kepada Abu Rafi’, dan mewakilkan pernikahannya dengan Ummu
Habibah kepada ‘Amru bin Umayah.
Dalam riwayat tersebut,
Ibnu Qudamah berkata, “Dibolehkan mewakilkan dalam akad nikah dalam hal ijab
dan qabul, karena Nabi SAW., mewakilkan Amru bin Umayyah dan Abu Rafi’ untuk
melakukan qabul (menerima pernikahan) baginya. Sesungguhnya Rasulullah menikahi
Ummu Habibah saat dia berada di negeri Habasyah.[34]
III.
Penutup
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwasannya perwalian dalam pernikahan
seorang perempuan begitu tertata rapi aturannya. Karena seorang perempuan
berbeda laki-laki dalam hal ini. Jumhur ulama selain Hanafiyah bersepakat
nikahnya seorang wanita yang diwalikan oleh orang lain tetap sah sebagaimana
nikahnya yang diwalikan oleh ayahnya sendiri. Dengan catatan memang ayahnya
yang mewakilkan pernikahan tersebut kepada orang lain. Lain halnya dengan pendapat
Hanafiyah yang membolehkan seorang gadis atau janda untuk mewakilkan
pernikahannya sendiri kepada orang lain tanpa perantara ayahnya ataupun wali.
Sahnya
perwakilan kepada orang lain disini dapat diwakilkan kepada siapa saja walaupun
kerabatnya masih ada. Sebagaimana mayoritas penduduk Indonesia yang sudah biasa
mewakilkan hak perwalian nikah purtinya kepada KUA. Ini dihukumi boleh. Karena
KUA juga bukanlah termasuk dalam wali nikah. Ia termasuk orang lain bagi
seorang perempuan. Dan di Indonesia sendiri, mewakilkan perwalian dalam
nikahnya seorang perempuan telah disepakati diperbolehkan. Dan sudah tersusun
dalam undang-undang juga kompilasi hukum Islam. Jadi, seorang ayah yang
mewakilkan perwalian nikah anak perempuannya diperbolehkan baik menurut ulama
fiqih maupun kesepakatan dalam undang-undang di Indonesia. Baik mewakilkan
secara wasiat atau secara langsung ketika akad nikah akan dilangsungkan. Wallahu’alam
bish-showab.
DAFTAR PUSTAKA
, Kompilasi.pdf
, UUperkawinan.pdf
Al-Baghawy, At-Tahdzib fii Fiqh al-Imam
as-Syafi’i, Jilid. 5, Cet. Ke- 1, Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1997 M
Al-Jazairy,
Abdurrahman, Kitabul Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Jilid. 4, Cet. Ke-4,
Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2011 M
Al-Qozwaini, Muhammad
bin Yazid, Sunan Ibnu Majah,
Maktabah Abi al-Mu’athi
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad, Tafsir
Al-Qurthubi, Jilid.3, Cet. Ke-3, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010 M
Asy-Syaibani, Abu
‘Abdillah, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Qohiroh: Muassasah
Qurtubah
Asy-Syairazy, Ali bin Yusuf, Al-Majmu’
Syarh al-Muhadzab, Jilid.19, Cet. Ke-2, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2011 M
At-Tirmidzi, Abu ‘Isa,
Al-Jaami’ ash-Shohih Sunan
at-Tirmidzi, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi
Az-Zuhaili, Prof. Dr. Wahbah, Fiqih Islam
Wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Cet. Ke-1, Jakarta: Gema
Insani, 2010 M
, Mausu’ah
al-Fiqh al-Islamiyah wal Qodloya al-Mu’shiroh, Jilid.8, Cet. Ke-3,
Damaskus: Darul Fikr, 2010 M
Bassam, Abdullah Alu, Fikih Hadits
Bukhari-Muslim, Penerj. Umar Mujtahid, Cet. Ke-1, Jakarta: Ummul Qura,
2013M
https://id.wikipedia.org/wiki/Kantor_Urusan_Agama,
diakses pada 15-11-2015, 23.14 WIB
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir,
Cet. Ke-4, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997 M
Qudamah, Ibnu, Al-Mughni,
Jilid.5. Cet. Ke-1, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008 M
Sulaiman, Abu Daud, Sunan
Abi Daud, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, ed.3, Cet. Ke-2 Jakarta: Balai Pustaka, 2002 M
Unais, DR. Ibrahim, Mu’jam
al-Wasith
Zaidan, DR. Abdul
Karim, Al-Mufasshol fii Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, Jlid.6, Cet.
Ke-3, Beirut: Muassah Risalah, 2000 M
[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir,
Cet. Ke-4 (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997 M), hlm. 1582, DR. Ibrahim
Unais, Mu’jam al-Wasith, hlm. 1101
[3] Abdurrahman al-Jazairy, Kitabul Fiqh
‘ala Madzahib al-Arba’ah, Jilid.4, Cet. Ke-4 (Beirut: Dar al-Kotob
al-Ilmiyah, 2011 M) hlm. 29
[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, ed.3, Cet. Ke-2 (Jakarta: Balai Pustaka, 2002 M),
hlm. 1266
[5] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir…,
hlm. 1579
[6] Prof. DR. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam
Wa Adilatuhu, Penerj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid.5, Cet. Ke-1
(Jakarta: Gema Insani, 2011 M), hlm. 590
[7] Abdullah Alu Bassam, Fikih Hadits
Bukhari-Muslim, Penerj. Umar Mujtahid, Cet. Ke-1 (Jakarta; Ummul Qura,
2013M) hlm. 867
[8] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia…, hlm. 1267
[9] Prof. DR. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam
Wa Adilatuhu, Penerj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid.9…, hlm. 178
[10] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia…, hlm. 1267
[11] Prof. DR. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam
Wa Adilatuhu, Penerj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid.9…, hlm. 206
[12] https://id.wikipedia.org/wiki/Kantor_Urusan_Agama,
diakses pada 15-11-2015, 23.14 WIB
[13] Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Tafsir
Al-Qurthubi, Jilid.3, Cet. Ke-3, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010 M)
hlm. 49
[14] Ali bin Yusuf asy-Syairazy, Al-Majmu’
Syarh al-Muhadzab, Jilid.19, Cet. Ke-2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2011 M) hlm. 125
[16] Ali bin Yusuf asy-Syairazy, Al-Majmu’
Syarh al-Muhadzab…, hlm. 126
[17] HR. A bu
Daud dalam Sunan-nya bab. Wali: 2/2087, At-Tirmidzi: 3/1101, Ahmad:
4/19761, dan dishahihkan oleh Al-Albani
[18] Ali bin Yusuf asy-Syairazy, Al-Majmu’
Syarh al-Muhadzab…, hlm. 126
[19] Hadits Shahih. Lihat sunan Ibnu Majah dalam
kitab Nikah: 3/1882
[20] Ali bin Yusuf asy-Syairazy, Al-Majmu’
Syarh al-Muhadzab…, hlm. 126
[21] DR. Abdul Karim Zaidan, Al-Mufasshol fii
Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, Jlid.6, Cet. Ke-3, (Beirut: Muassah
Risalah, 2000 M), hlm. 483
[22] Ibid, hlm. 489
[23] Prof. DR. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam
Wa Adilatuhu, Penerj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid.9…, hlm. 185
[25] Kompilasi.pdf, hlm. 15
[26] Prof. DR. Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah
al-Fiqh al-Islamiyah wal Qodloya al-Mu’shiroh, Jilid.8, Cet. Ke-3,
(Damaskus: Darul Fikr, 2010 M), hlm. 219
[27] Prof. DR. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam
Wa Adilatuhu, Penerj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid.9…, hlm. 195
[30] Al-Baghawy, At-Tahdzib fii Fiqh al-Imam
as-Syafi’i, Jilid. 5, Cet. Ke- 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997
M), hlm. 285
[31] Prof. DR. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam
Wa Adilatuhu, Penerj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid.9…, hlm. 206, Prof.
DR. Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqh al-Islamiyah wal Qodloya
al-Mu’shiroh…, hlm. 219
[32] Undang-undang.pdf, hlm. 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar