DALIL YANG TIDAK JELAS DAN TINGKATAN-TINGKATANNYA
Oleh : Ibnu El-Qomaru
I.
Pendahuluan
Allah ta’ala menurunkan
al-Qur’an kepada Rasulullah SAW., secara berangsur-berangsur. Dalil dalam nash
al-Qur’an tidak dapat dipahami secara literal bahasa maupun secara langsung.
Secara umum dalil terbagi menjadi 2, dalil tafshili (terperinci) dan ijmali
(global). Pada dalil tersebut, ada yang maknanya jelas dan mudah dipahami
secara langsung. Dan ada juga yang maknanya tidak jelas, sehingga memerlukan
dalil lain yang menunjukkan makna dalil yang tidak jelas tersebut.
Dalam ilmu ushul fiqh
ini, terdapat kaidah-kaidah bagaimana ulama menyimpulkan hukum dari nash maupun
sunah. Karena dengan kaidah ini dapat menjadikan kesimpulan hukum yang dapat
dipahami secara jelas dan benar.[1]
Salah satu kaidah tersebut adalah nash yang tidak jelas dalil dan maknanya.
Oleh karenanya, penulis akan menjelaskan pada kaidah ini bagaimana dalil yang
tidak jelas dan tingkatan kesamarannya, serta sesuatu yang menghilangkan
kesamarannya.
II.
Pembahasan
A. Pengertian Dalil Yang Tidak Jelas
Dalalah secara bahasa adalah bentuk mashdar sima’i dari kata dalla –
yadullu –dalalatan. Kata dalla diartikan dengan abana
(menjelaskan), maka dalalah berarti menjelaskan sesuatu dengan tanda.
Kata dalla juga diartikan dengan hada (menunjukkan) dan arsyada
(menunjukkan).
Secara istilah, dalalah
memiliki banyak definisi, akan tetapi disini cukup dipaparkan satu definisi
saja yang sudah mencakup dalalah lafdziyyah dan dalalah ghairu
lafdziyyah, yaitu perihal sesuatu yang mengetahuinya meniscayakan
mengetahui sesuatu yang lain.[2]
Pada buku Ushul
Fiqh-Abdul Wahhab Khallaf disebutkan, nash-nash yang tidak jelas dalalahnya
ialah : sesuatu yang tidak menunjukkan terhadap yang dikehendakinya dengan
shighatnya sendiri, akan tetapi pemahaman maksudnya tergantung pada sesuatu
yang khariji (bersifat external).[3]
Sedangkan dalam buku
ushulnya DR. Wahbah az-Zuhaili menjelaskan dalil-dalil yang tidak jelas dari
nash adalah dalil yang tidak menunjukkan pada makna aslinya yang dimaksud, akan
tetapi untuk memahaminya diperlukan faktor dari luar.[4]
Dalam buku al-Wajiiz
fii Ushul-Fiqh, madzhab Hanafi menyebutkan pembagian dalil yang tidak jelas
adalah tersiratnya makna pada dalil-dalil yang terdapat dalam nash.
Terbagi menjadi 4 tingkatan menurut sebab ketidakjelasannya,[5]
yaitu:
1. Al-Khofi
2. Al-Musykil
3. Al-Mujmal
4. Al-Mutasyabih
Pembagian tingkatan
ini jelas telah disepakati ulama Hanafiyah dan tidak ada perselisihan diantara
ulama terdahulu dan kontemporer.[6]
Jika ketidakjelasannya dapat dipahami dengan akal disebut al-musykil.
Dan jika ketidakjelasan dalilnya dapat dipahami dengan naqli, tidak
dengan akal disebut al-mujmal.
Al-khofi berlawanan dengan adz-dzohir, al-musykil dengan nash, al-mujmal dengan mufassir, dan al-mutasyabih dengan
muhkam.[7]
B. Tingkatan-tingkatannya
Pada kaidah ini, penulis akan menerangkan macam-macam nash yang
tidak jelas dalalahnya, dan tingkatan-tingkatan kesamarannya, serta sesuatu
yang menghilangkan kesamarannya.
Berikut ini adalah penjelasan maksud peristilahan masing-masing dari
empat macam tersebut berikut contoh dan hukumnya:
1.
Al-Khofi
Pengertian khafi menurut bahasa adalah tidak jelas atau
tersembunyi.[8]
Al-khofi adalah lafal yang menunjukkan makna arti secara jelas dari
lafadz aslinya, akan tetapi dalam menerapkan arti makna pada sebagian satuannya
mengandung ketidakjelasan dan kesamaran.[9]
Sebab kemunculan kesamaran ini ialah bahwasannya satuan tertentu
didalamnya ada suatu sifat yang melebihi terhadap satuan-satuan lainnya, atau
satu sifat berkurang dari satuan itu atau ia mempunyai suatu nama khusus.
Tambahan, atau kekurangan, atau penamaan khusus ini menjadikannya sebagai
tempat keserupaan. Oleh karena itu, makna lafadz tersebut adalah samar dalam
konteksnya dengan satuan ini, karena pencakupannya terhadap satuan ini tidak
dapat dipahami dari lafadz itu sendiri, bahkan ia haruslah dengan suatu hal
yang khariji (eksternal).[10]
Contohnya:
Makna pada nash ini jelas, akan tetapi pada penerapan disebagian
makna lain terdapat kesamaran. Seperti halnya kata as-saariq,[11]
pencuri yang artinya mengambil barang orang lain secara sembunyi-sembunyi.
Kemudian diterapkan pada sebagian satuan maknanya yaitu kata pencopet, korupsi,
pencuri barang-barang dalam kuburan, kata ini mengandung makna yang samar
sehingga membutuhkan penelitian yang mendalam dan ijtihadnya para ulama.
Pencopet lebih bermakna mengambil barang orang lain secara terang-terangan.
Perbedaan dengan pencuri adalah pencopet memiliki keberanian mencuri sehingga
ia lebih khusus penamaannya. Sedangkan yang mencuri harta mayit dengan menggali
kuburannya, sedikit orang yang menjadikan ia sebagai pencuri. Karena ia mencuri
harta yang tidak ada kepemilikannya dan penjagaannya.
Dan para ulama bersepakat jika pencopet itu sebagai pencuri yang harus
dipotong tangan dengan dalil dari nash yang jelas, sedangkan pencuri
harta mayit ulama berselisih dalam penetapannya. Imam asy-Syafi’i dan Abu Yusuf
berkata ia ditetapkan sebagai pencuri dan harus dipotong tangan, sedangkan
sebagian ulama Hanafiyah berkata ia bukan pencuri maka tidak harus dipotong
tangan, namun cukup dipenjarakan.[12]
Hukum al-khofi yaitu diwajibkan pencarian dan penelitian yang
mendalam untuk menjelaskan maknanya. Memikirkan sebab ketidakjelasannya,
dan setiap ahli ilmu memiliki pandangan masing-masing.[13] Dan wajib bagi mujtahid mencari makna sampai
menjelaskannya dari lafadz yang samar tersebut.[14]
2. Al-Musykil
Secara bahasa, al-musykil adalah ketidakjelasan, kekacauan,
kesamaran. Menurut ulama ushul adalah sesuatu yang tidak dapat dipahami
sampai ada dalil lain yang menjelaskannya.[15]
Musykil adalah lafadz yang
tidak jelas maknanya, maka tidak mungkin dapat memahaminya kecuali dengan
penelitian yang mendalam sehingga diperlukan qarinah dan dalil lain yang
dapat menjelaskannya. Perbedaannya dengan khofi yaitu pada dzat
lafadznya, sedangkan musykil pada dzat nashnya yang tidak dapat dipahami
kecuali dengan dalil lain.[16]
Kemunculan dalam nash, terkadang dari lafadz yang musytarak.
Karena lafadz musytarak ditetapkan menurut bahasa untuk lebih dari satu
makna. Sedangkan dalam shigatnya tidak terdapat suatu penunjukkan kepada
makna tertentu yang ditetapkan untuknya. Oleh karena itu, maka harus ada
qarinah yang eksternal yang menunjukkannya.[17]
Contohnya:
Contoh musykil adalah adalah lafadz musytarak (polisemi:
lafadz yang menunujukkan dua arti atau lebih secara bergantian),[18]
seperti kata quru’, ‘ain.
Pada kata quru’ dalam firman ta’ala,[19]
ini musytarak antara haidh dan suci Terdapat kesulitan dalam memahami kata ini,
apakah itu haidh atau suci?
Madzhab Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat quru’ ini adalah
haidh. Dengan merujuk pada hadits, ( عِدَّةُ
الْأَمَةِ حَيْضَتَانِ ), dan tidak ada perbedaan
antara budak dengan wanita merdeka dalam hal iddah ini.
Demikian juga hadits ( اَلْمُسْتَحَاضَةُ تَدْعُ الصَّلاَةَ أَيَامُ وَأَقْرَائِهَا ), ini menjelaskan bahwasannya disyariatkannya iddah ini untuk mengetahui
sucinya rahim dari sebab kehamilan, dan semua itu akan diketahui dengan haidh. Qarinahnya
ialah:
Pertama : hikmah pentasyri’an iddah. Hikmah dalam pewajiban iddah diatas
wanita yang ditalak ialah mengetahui kebersihan rahimnya dari kehamilan.
Sedangkan yang memberitahukan hal ini adalah haidh bukan suci.
Kedua : Firman Allah ta’ala :
وَاللَّائِي
يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ
أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Artinya :
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (menopause) diantara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah
mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak
haidh”.[20]
Firman
tersebut menetapkan alasan iddah dengan beberapa bulan karena ketiadaan haidh.
Ini menunjukkan bahwa asalnya beriddah adalah dengan haidh.
Ketiga : Sabda Rasulullah SAW., :
طَلاَقُ الْاَمَةِ ثِنْتَانِ وَ عِدَّ تُهَا حَيْضَتَانِ
Artinya :
“Talak hamba sahaya perempuan dua kali, dan iddahnya dua kali haidh”.
Penegasan bahwa iddah hamba sahaya perempuan dengan haidh merupakan
penjelasan terhadap yang dimaksud dengan lafadz al-qur’u dalam iddah
perempuan yang merdeka. Adapun pentaksisan nama hitungan, maka ia dimaksudkan
untuk kemudzakaram lafadz yang dihitungnya, yaitu lafadz al-qur’u.
Sedangkan pendapat madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah menyatakan makna quru’
ini adalah suci. Karena pentafsiran kata quru’ adalah suci lebih
dekat dengan kata aslinya. Tidak diragukan juga bahwasannya masa suci adalah berkumpulnya
darah didalam rahim, sedangkan masa haidh adalah masa mengeluarkannya darah. Qarinahnya
ialah pentaknitsan isim ‘adad (nama hitungan), karena hal itu menunjukkan
bahwasannya yang dihitung adalah mudzakkar (laki-laki), yaitu suci,
bukan haidh.[21]
Hukum musykil ini adalah harus adanya penelitian dan pemikiran
makna kata lafadz musykil ini, kemudian menjelaskannya dengan
menggunakan qorinah dan dalil dari luar seperti nash lain, kaidah syara’ dan
hikmah pentasyri’annya.[22]
Tidak boleh mengamalkannya sebelum mengetahui maknanya.[23]
Dan mempercayainya bahwa ini adalah kebenaran.[24]
Sehingga membutuhkan penelitian makna lafadz yang samar ini kemudian berijtihad
mengeluarkan maknanya dengan qorinah dan dalil lain.[25]
Jalan untuk menghilangkan kemusykilan nash yang musykil adalah ijtihad.
Apabila ada lafadz musytarak dalam nash, maka seorang mujtahid harus
mempergunakan saran qarinah dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh pembuat hukum
untuk kemusykilannya dan menentukan yang dimaksud dari lafadz itu, sebagaimana
ternyata dari ijtihad para mujtahid dalam menentukan maksud lafadz al-qur’u
dalam ayat tersebut, dan perbedaan orientasi pandangan mereka dalam penetuan
ini. Apabila ada nash-nash yang dzahirnya saling bertentangan dan kontradiksi,
maka seorang mujtahid haruslah mentakwilnya dengan suatu pentakwilan yang
shahih yang mengsistensiskan antara nash-nash itu dan menghilangkan sesuatu
yang ada pada dzahirnya terdapat kontradiksi dan pertentangan. Pedomannya dalam
pentakwilan ini ialah ada kalanya nash lain, atau kaidah-kaidah syara’, atau
hikmah pentaysri’an.[26]
Kata yang mengandung musykil tidak bisa ditentukan satu arti
tertentu dari beberapa makna yang dikandungnya, kecuali dengan melihat dalil.[27]
3. Al-Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak terperinci.[28]
Mujmal adalah lafadz yang tersembunyi maknanya dengan kesamaran
lafadznya sendiri, tidak akan mengetahuinya kecuali dengan penjelasan, tidak
juga memahaminya tanpa adanya qorinah yang menjelaskan makna lafadz tersebut.[29]
Dan secara umum mujmal adalah lafadz yang tersembunyi maknanya dan tidak
akan mungkin memahami maknanya kecuali dengan adanya penjelasan.[30]
Jadi sebab kesamaran adalah bersifat lafadz (tekstual), bukan hal yang datang
kemudian.[31]
Al-Bazdawy berkata dalam kitab ushulnya, mujmal merupakan suatu lafadz
yang maknanya mengandung ketidakjelasan dan kesamaran, tidak dapat memahaminya
dengan kata itu sendiri. Akan tetapi harus kembali pada penjelasan dengan suatu
penelitian. Artinya, apa yang dimaksudkan tidak bias diketahui begitu saja dari
ungkapan itu sendiri, tetapi harus ditafsirkan, diteliti, dan dipikirkan secara
mendalam.[32]
Macam-macam mujmal:[33]
a. Mujmal mufassir, adalah lafadz yang maknanya berbenturan antara mufassir dengan syar’i
dari makna itu sendiri, seperti dirikanlah shalat.
b. Mujmal musykil, adalah lafadz yang berbenturan maknanya dan belum dijelaskan oleh syar’i
dan meninggalkan perkana ini menuju pada mujtahid.
c. Mujmal musytarik, adalah lafadz yang berbenturan maknanya dan dapat dicabut qarinah
maknanya pada salah satu makna.
Sebab-sebab mujmal:[34]
a. Adanya isytirak tanpa adanya qorinah,
seperti lafadz tuan atau majikan.
b. Keasingannya lafadz dalam bahasa, seperti
kalimat al-qari’ah, al-haqqah. Tidak dapat kedua makna ini sampai Allah
menjelaskan maknanya. Dan maksudnya adalah hari kiamat.
c. Kekurangannya makna lughawi terhadap
makna istilah syar’i. seperti lafadz shalat, zakat, dan riba.
Contohnya:
Banyak contoh kata-kata yang khusus dari al-Qur’an mengenai hukum taklifinya
yang berbentuk mujmal. Sehingga memutuskan hukum dan menjelaskan
ketentuan-ketentuannya harus dengan sunnah. Perintah shalat, misalnya, suatu
perkara yang mujmal dan penjelasannya dengan sunnah dalam bentuk
perkataan dan perbuatan Rasulullah. Sebagaimana sabdanya, “Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihatku shalat”.[35]
Demikian pula dengan lafadz mujmal lainnya, seperti zakat, puasa haji,
dan riba, serta segala sesuatu yang datang secara mujmal dalam nash-nash
al-Qur’an.[36]
Demikian, kita tidak mendapatkan mujmal disebutkan dalam al-Qur’an
kecuali dengan penjelasan dari sunnah dan hukum-hukumnya secara terperinci.[37]
Hukum mujmal, tidak boleh mengamalkannya sampai maknanya jelas kembali
pada aslinya dengan penjelasan syari’at lain yang sejelas-jelasnya. Jika belum
ada penjelasan secara jelas maka mujmal itu mengandung musykil dan mujtahid
akan memisahkan mujmal dari kemusykilannya.[38]
4. Al-Mutsyabih
Mutsyabih secara bahasa diambil
dari kata at-tasyabuh yang berarti ketidakjelasan, kesamaran atau
kekacauan.[39]
Secara istilah, mutasyabih adalah lafadz yang tersembunyi
maknanya, dan tidak ada jalan untuk mengetahui makna tersebut, dan tidak mungkin
tercapai oleh nalar akal para ulama sekalipun dalam menerangkannya. Tidak
didapatkan juga pentafsiran makna ini, baik secara qathi’ maupun dzanni
dari al-Qur;an maupun sunnah.[40]
Dalam pembahasan ini kita akan membicarakan 2 perkara, sebagai berikut:
a. Adanya mutasyabih didalam al-Qur’an.
Tidak satupun manusia yang mengetahunya kecuali Allah, sebagaimana disebutkan
dalam firman-Nya, surat Ali Imran ayat 7.
Para ulama
bersepakat dengan adanya mutasyabih dalam nash al-Qur’an.[41]
Akan tetapi, para ulama berselisih dalam hal peletakan mutasyabih ini.
Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada mutasyabih dalam al-Qur’an kecuali
huruf-huruf muqotho’ah pada awal surat, dan sumpahnya Allah ta’ala dalam
al-Qur’an,[42]
sebagaimana termaktub dalam firman-Nya.
Sebagian
para ulama menambahkan ayat-ayat yang didalamnya mengandung persamaan dengan
Allah. Seperti halnya tangan Allah, yang terdapat pada surat Al-Fath ayat 3.
b. Ayat-ayat yang berisi tentang taklif,
dan penjelasan hukum-hukum syari’at islam yang didalamnya tidak mengandung tasyabuh
saja. Akan tetapi, semuanya menjelaskan secara jelas, baik pada dzat
lafadznya maupun dengan penjelasan hadits Nabi SAW.[43]
Contohnya:
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, contok lafadz yang mengandung mutasyabih
diantaranya:
Huruf-huruf muqotho’ah yang terdapat pada awal surat dalam
al-Qur’an,[44]
seperti :
ألم،
الر، حم، كهيعص، ص، ن
Sifat-sifat Allah yang menggambarkan kemiripan dengan makhluk-Nya,
seperti tangan, mata, tempat semayam.
Sumpah Allah dalam
al-Qur’an, yang terdapat pada surat Al-Qari’ah ayat 1-3.
Huruf-huruf abjad yang
terpotong-potong pada permulaan sebagian surat tidaklah mungkin menunjukkan
dengan sendirinya terhadap maksudnya. Allah tidaklah menafsirkan apa yang
dikehendaki-Nya dari huruf-huruf itu. Dialah yang paling tahu maksudnya.
Demikian pula ayat-ayat yang dzahirnya menimbulkan dugaan penyerupaan Khaliq
dengan makhluk-Nya, tidak mungkin dari ayat tersebut dipahami pengertian lafadz
itu secara kebahasaan, seperti tangan, mata, tempat dan segala sesuatu yang
menyerupai makhluk-Nya. Tiada sesuatu yang semisal Dia. Allah tidak menjelaskan
apa yang dikehendaki-Nya dari lafadz-lafadz itu. Dia Yang paling tahu dengan
maksud-Nya. Ini adalah pendapat ulama salaf mengenai pengertian mutasyabih.
Mereka menyerahkan kepada pengetahuan Allah dan mengimaninya, serta tidak
membahasnya dengan mentakwilnya. Adapun pendapat Khalaf, bahwasannya ayat ini
dzahir maka wajib ditakwilkan dan dipalingkan dari yang dzahir itu, dan
dimaksudkan makna yang mungkin bagi lafadz itu, meskipun dengan cara majaz,
yang tidak ada penyerupaan Khaliq dengan makhluk-Nya.[45]
III.
Penutup
Demikianlah yang telah kami jelaskan tentang nash yang tidak jelas
dalalahnya. Al-Qur’an diturunkan begitu indah bahasanya. Sehingga tak ada satu
makhluk pun yang dapat menyaingi-Nya. Karena Allah menurunkan ayat pada
Rasul-Nya tidak semua harus dapat dipahami secara nash itu sendiri.
Ada yang harus dengan dalil lain sebagai penjelasnya seperti halnya mujmall.
Ada juga yang makna katanya sejenis dan samar sehingga mengetahui makna nash
ini harus dengan penggalian dan penelitian yang lebih mendalam lagi. Bahkan,
ada makna dalam nash ini tidak dijelaskan sama sekali seperti halnya mutasyabih.
Dan tidak ada satu orang pun yang dapat memahaminya kecuali Allah yang telah
menurunkan nash itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul ‘Al, DR.
Abdul Hayy. Pengantar Ushul Fikih, Penerj. Muhammad Misbah, Lc., M. Hum.
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014M)
Abu Zahroh,
Muhammad. Ushul Fiqh, (t.tp: Darul Fikr al-Arabi, t.th.t)
Al-Bardisy,
Muhammad Zakariya. Ushul Fiqh, (Qohiroh: Darul Tsaqofah, t.th.t)
Al-Hadhry, Muhammad.
Ushul Fiqh, Cet.6, (Mesir: Maktabah At-Tijariyah Al-Kubro, 1969M)
As-Salmi, ‘Iyadh bin Namiy. Ushul Fiqh al-Ladzi Laa Yasi’u al-Faqih
Jahluhu, (Riyadh: t.p, t.th.t)
Az-Zuhaili,
DR. Wahbah. Al-Wajiz Fii Ushul Fiqh, Cet.1, (Damaskus: Darul Fikr,
1995M)
Khallaf, Prof.
Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL,
Drs. Ahmad Qarib, MA., Cet.1 (Semarang: Dina Utama, 1994M)
Syafe’i, MA.,
Prof. DR. Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2010M)
Syalbi,
Muhammad Mushtofa. Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Darul Jami’iyah,
t.th.t)
Unais, DR. Ibrahim. et.all, Mu’jam
al-Wasith (Qohirah: t.p, 1972M)
[1] DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul
Fiqh, Cet.1,(Damaskus: Darul Fikr, 1995M) hlm.163
[2] DR. Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul
Fikih, Penerj. Muhammad Misbah, Lc., M. Hum. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2014M) hlm.253
[3] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA., Cet.1,
(Semarang: Dina Utama: 1994M) hlm.259
[4] DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul
Fiqh,... hlm.182, Muhammad Mushtofa Syalbi, Ushul Fiqh al-Islami,
(Beirut, Darul Jami’iyah, t.th.t) hlm.474
[5] Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,
(Qohiroh: Darul Tsaqofah, t.th.t) hlm.390, Muhammad al-Hadhry, Ushul Fiqh,
Cet.6, (Mesir: Maktabah At-Tijariyah Al-Kubro, 1969M) hlm.135
[6] Muhammad Mushtofa Syalbi, Ushul Fiqh
al-Islami,… hlm.474
[7] Muhammad Mushtofa Syalbi, Ushul Fiqh
al-Islami,… hlm.475
[8] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul
Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010M) hlm.164
[9] DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul
Fiqh,... hlm.182
[10] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA.,… hlm.260
[11] Pada surat Al-Maidah ayat 38
[12] Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,…
hlm.391
[13] DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul
Fiqh,... hlm.183
[14] ‘Iyadh bin Namiy as-Salmi, Ushul Fiqh
al-Ladzi Laa Yasi’u al-Faqih Jahluhu, (Riyadh: t.p, t.th.t), hlm.403
[16] Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,…
hlm.392
[17] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA.,… hlm.260
[18] DR. Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul
Fikih, Penerj. Muhammad Misbah, Lc., M. Hum.,… hlm.250
[19] QS. Al-Baqarah : 228
[20] QS. Ath-Thalaq : 4
[21] DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul
Fiqh,... hlm.185, Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,…
hlm.394, Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Penerj. Drs. H.
Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA.,… hlm.263
[22] DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul Fiqh,...
hlm.185
[23] Muhammad Mushtofa Syalbi, Ushul Fiqh
al-Islami,… hlm.479
[25] Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,…
hlm.393
[26] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA.,… hlm.264
[27] DR. Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul
Fikih, Penerj. Muhammad Misbah, Lc., M. Hum.,… hlm.250
[28] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul
Fiqih,… hlm.166
[29] Muhammad Mushtofa Syalbi, Ushul Fiqh al-Islami,…
hlm.479, DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul Fiqh,... hlm.185
[30] Muhammad al-Hadhry, Ushul Fiqh,
hlm.135, Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,… hlm.393, ‘Iyadh bin
Namiy as-Salmi, Ushul Fiqh al-Ladzi Laa Yasi’u al-Faqih Jahluhu,…
hlm.404
[31] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA.,… hlm.265
[32] Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh, (t.tp:
Darul Fikr al-Arabi, t.th.t) hlm.131, DR. Abdul Hayy
Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fikih, Penerj. Muhammad Misbah, Lc., M. Hum.,…
hlm.250
[33] Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,…
hlm.394
[34] DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul
Fiqh,... hlm.186
[35] Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh,…
hlm.131, DR. Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fikih, Penerj.
Muhammad Misbah, Lc., M. Hum.,… hlm.250
[36] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA.,… 265
[37] Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh,…
hlm.131, DR. Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fikih, Penerj.
Muhammad Misbah, Lc., M. Hum.,… hlm.250
[38] Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,…
hlm.394
[39] Muhammad Mushtofa Syalbi, Ushul Fiqh
al-Islami,… hlm.481
[40] Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh,…
hlm.134
[41] Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,…
hlm.395
[42] Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh,…
hlm.134
[43] Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh,…
hlm.135, Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,… hlm.395
[44] Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,…
hlm.395
[45] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA.,… hlm.269
Tidak ada komentar:
Posting Komentar