Simak sedikit pidato ini. Semoga bermanfaat.
Kewajiban
seorang muslim sebelum beramal adalah berilmu. Agar aqidahnya lurus dan terjaga
maka harus memupuknya dengan ilmu. Kemunkaran terbesar dalam pandangan Islam,
adalah kemunkaran di bidang aqidah Islamiyah atau kemunkaran yang mengubah
dasar-dasar Islam. Kerusakan di bidang ilmu-ilmu dasar Islami ini ternyata telah
puluhan tahun merambah perguruan-perguruan tinggi Islam. Ada skenario dan grand
design di balik ini semua. Jadi, mencegah kemunkaran adalah sesuatu perkara
yang sangat serius kedudukannya dalam ajaran Islam. Allah SWT berfirman dalam
surat Ali-Imran : 104 ,
يؤمنون بالله
واليوم الأخر ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويسارعون فىالخيرات وألئك من
الصالحين
Studi Islam
bukanlah mata kuliah yang diminati banyak mahasiswa. Karena dianggap tifak
dapat menjamin masa depan. Pelajar-pelajar unggulan lebih diarahkan oleh orang
tuanya untuk menimba ilmu dunia dan bukan ilmu agama. Sehingga orang dapat
gelar sarjana agama, apapun kualitas keilmuannya, sekedar cari gelar untuk cari
kerja, sekedar sambilan yang dianggap semacam siraman rohani. Tokoh dihargai
dan dihormati oleh masyarakat luas, bukan karena kedalaman ilmu dan kesalehan
amalnya, tetapi karena kepandaian bicaranya, dan juga gelar K.H. sebagai symbol
dari ulama.
Umat Islam
Indonesia tidak peduli dan tidak melihat masalah yang amat serius ini dengan
cermat. Setiap tahun, ratusan sarjana agama dikirim untuk belajar tentang Islam
di Barat, belajar pada orientalis Yahudi dan Kristen. Mengapa umat Islam tidak
serius menyiapkan sarjana-sarjana yang unggul, yang tidak kalah kualitasnya
dengan para orientalis?
Untuk mengangkat martabat kampus,
saat ini ada upaya-upaya perguruan tinggi Islam untuk membesarkan diri dengan
cara memekarkan dirinya menjadi universitas. Fakultas-fakultas jurusan umum
dibuka. Ternyata, justru fakultas baru itulah yang kebanjiran peminat, jauh
melampaui minat masuk ke fakultas agama. Masalah keilmuan dan pendidikan islm
semakin pelik lagi, karena dari jurusan-jurusan agama, justru muncul
pemikiran-pemikiran yang justru dekonstruktif terhadap keilmuan Islam itu sendiri.
Tiga tantangan besar yang ditimpakan peradaban Barat terhadap umat Islam saat
ini adalah kristenisasi, orientalisme, dan imperialisme modern.
Tiga puluh tahun yang lalu,
cendekiawan muslim Prof. Dr. HM Rasjidi mengingatkan bahaya penggunaan metode
Orientalis dalam studi Islam di IAIN, UIN dan perguruan tinggi Islam lainnya.
Nasihat dan peringatan Rasjidi itu tidak diperhatikan. Kini, menjadi kenyataan.
Dari kampus-kampus berlabel Islam
bermunculan pemikiran dan gerakan ‘aneh’.
1.
Dari IAIN
Bandung, muncul teriakan yang menghebohkan, “Selamat bergabung di area bebas
tuhan.”
2.
Tahun 2004,
IAIN Yogyakarta membuat sejarah baru dalam tradisi keilmuan Islam, dengan
meluluskan sebuah tesis master yang menyerang kesucian dan otentisitas Al-Qur’an.
3.
Dari Fakultas
Syari’ah IAIN Semarang, lahir jurnal yang menyerang Al-Qur’an dan
memperjuangkan legalisasi perkawinan homoseksual. Pluralisme agama dan
relativisme kebenaran –paham syirik modern yang menyerukan kebenaran semua
agama- justru disebarkan dan diajarkan di lingkungan perguruan tinggi Islam.
4.
Dari UIN
Jakarta, sejumlah dosennyajustru menjadi pendukung gerakan perkawinan antar
agama.
5.
Dan paling
menghebohkan Indonesia tahun 2014 ini adalah
Ada apa
sebenarnya dengan kondisi dan arah studi Islam di perguruan tinggi Islam di
Indonesia saat ini?. Mengapa begitu mudahnya framework Orientalis dalam studi
Islam menghegemoni wacana studi Islam? Hegemoni orientalis Barat dalam studi
Islam terbukti telah membawa dampak yang serius dalam kehidupan keagamaan di
Indonesia.
Saat inilah
seyogyanya IAIN/UIN/STAIN dan kampus-kampus Islam lainnya melakukan perenungan
yang mendalam dan serius serta bertanggung jawab –dunia dan akhirat- atas
muatan, metodologi, kualitas, dan arah pendidikan studi Islam di kampus-kampus.
Tujuan utama pendidikan Islam tingkat tinggi, adalah untuk melahirkan
sarjana-sarjana Muslim yang memiliki kualifikasi keilmuan Islam yang mumpuni,
menjadi panutan dalam amal sekaligus mampu menjadi pusat kajian ilmu keislaman
sebagai jalan untuk membangun kembali peradaban Islam yang agung. Dengan itu,
mudah-mudahan kampus IAIN/UIN/STAIN/PTIS tidak menjadi agen pengembangan paham
neo-liberalisme di bidang agama yang sedang gencar-gencarnya dijejalkan ke
institusi-institusi pendidikan Islam dengan tawaran duniawi yang menggiurkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar