TAQLID DAN
BERMADZHAB DALAM PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA (NU)
Oeh : Ibnu El-Qomaru
I.
Pendahuluan
Fenomena taqlid terus berkembang seiring dengan berkembangnya zaman
dan timbulnya masalah-masalah baru dalam kehidupan. Perbedaan pendapat yang
memiliki dasar sendiri-sendiri pun dapat menimbulkan perselisihan. Di Indonesia
yang merupakan negeri terbesar pun
sangat banyak perselisihan karena perbedaan pendapat. Organisasi Kemasyarakatan
(ormas) Nahdatul Ulama (NU) adalah organisasi islam terbesar di negeri ini. Dan
sebagian kalangannya ada yang bertaqlid pada satu madzhab yaitu madzhab Imam Syafi’I, ada juga
pada semua imam madzhab. Sehingga di
kalangan mereka pun bisa saling
berselisih karena taqlid. Taqlid yang berlebihan pun akan menimbulkan konflik
antar pemeluk agama Islam. Mengakibatkan umat terpecah, dipecah dan diadu
domba. Sebenarnya apa pandangan taqlid menurut ormas terbesar di negeri ini?
Dan bagaimana hukum taqlid mereka?
Oleh karena itu, sangatlah penting kita mengetahui taqlid itu
sendiri. Maka penulis, sangat tergugah untuk membahas ini.
II.
Pengertian
A.
Taqlid
At-Taqlid menurut
bahasa, masdar dari fi’il qallada yang berarti memasang kalung pada
lehernya.[1]
Qallada dalam makna lain menggantungkan sesuatu di lehernya orang lain
dan mengalungkannya.[2]
Secara literal, taqlid diambil dari kata al-qaladzah allatiy yuqallidu
ghairahu bihaa (kalung yang dikenakan kepada orang lain).[3]
Sedangkan
menurut istilah, taqlid adalah ‘amal biqauli al-ghairi min ghair hujjah
mulzimah (beramal dengan mengikuti pendapat orang lain tanpa ada hujjah
(dalil) yang bersifat mengikat). Misalnya, orang awam yang mengikuti pendapat
awam lainnya, atau seorang mujtahid yang mengikuti pendapat mujtahid lainnya.[4]
Makna at-taqlid
dalam istilah syar’i ada 4 makna, salah satu darinya yaitu : taqlid pada agama
dengan mengambil perkataan tanpa mengetahui dalilnya. Atau mengamalkan sesuatu
tanpa hujjah.[5]
Abu Abdillah bin Khuwaz Mindad Al-Bishri Al-Maliki berkata: Makna at-taqlid secara
syar’i yaitu merujuk pada suatu pendapat tanpa ada hujjah dari yang mengeluarkan
pendapat itu. Ini dilarang dalam syariah.[6]
Dalam kitab
Al-Mustashfa, at-taqlid adalah menerima suatu perkataan tanpa ada
hujjahnya, dan ini bukanlah jalan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, baik ilmu
ushul maupun furu’.[7]
Ibnu Hammam dalam al-Tahriir mengatakan,
“Taqlid adalah berbuat berdasarkan pendapat orang yang tidak memiliki hujjah,
tanpa ada alasan.”
Al-Qaffal menyatakan, “Taqlid mengikuti
pendapat orang yang anda sendiri tidak tahu dari mana pendapat itu berasal.”
Syaikh Abu
Hamid dan Abu Manshur berpendapat, “Taqlid adalah menerima pendapat orang lain
tanpa ada hujjah atas pendapat tersebut.”[8]
Taqlid bagi
NU, menurut KH. Sahal Mahfudh dalam buku Nuansa Fiqih Sosial menyatakan
pengertian taqlid sesuai dengan yan telah ditulis dalam kitab-kitab
Syafi’iyyah, ialah mengambil atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa tahu
dalil-dalilnya atau hujjahnya.[9]
Taqlid mujtahid
adalah menerima sesuatu tanpa ada
perkataan hujjahnya, seperti orang awam yang mengambil dalil dari mujatahid
yang kembali pada sabda Nabi bukanlah taqlid, dan yang merujuk pada ijma’ pun
bukan taqlid juga, karena itu kembali pada hujjahnya sendiri.[10]
Menurut
al-Amidiy, merujuknya seseorang kepada sabda Nabi SAW, atau ijma’ Mujtahid di
suatu masa, vonisnya seorang qadliy berdasarkan kesaksian seorang yang adil,
dan merujuknya seorang muqallid kepada seorang mufti (pemberi fatwa) tidak
terkategori sebagai taqlid; dikarenakan tidak adanya hujjah lazim yang bisa
dijadikan pegangan.[11]
Menurut Syaikh
Abu Muhammad Al-Maqdisy dan sebagian Syafi’iyah mengatakan bukanlah suatu
taqlid mengambil dari perkataan Rasulullah, karena sebagaimana yang diketahui
taqlid itu sendiri adalah seorang yang mengambil perkataan tanpa mengetahui hujjah
orang yang diikutinya.[12]
Sedangkan makna al-muqallidun ialah orang yang tidak mempunyai
kemampuan untuk membuat perbedaan antara pendapat yang lemah dan yang kuat,
serta tidak dapat membedakan antara yang rajih dan yang marjuh.[13]
B.
Madzhab
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
madzhab adalah haluan atau aliran mengenai hukum fiqih yang menjadi ikutan umat
Islam (dikenal empatt madzhab, yaitu madzhab Hanafi, Hanbali, Maliki, dan
Syafi’i).[14]
Kata madzhab menurut arti bahasa ialah tempat
untuk pergi ataupun jalan. Dari segi istilah, madzhab berarti hukum-hukum yang
terdiri atas kumpulan permasalahan. Dengan pengertian ini, maka terdapat
persamaan makna antara makna bahasa dan istilah, yaitu madzhab menurut bahasa
adalah jalan yang menyampaikan seseorang kepada satu tujuan tertentu di
kehidupan dunia ini, sedangkan hukum-hukum juga dapat menyampaikan seseorang
kepada satu tujuan di akhirat.[15]
Sedangkan
dalam pandangannya Rais Syuriyah PBNU KH. A. Ishomuddin yang disampaikan kepada
NU online, madzhab itu secara bahasa mahalludz dzihab. Ada juga itu di Mu’jamul
Lughah, Mu’jam fil Musthalahat wal Furuq Al-Lughawiyah, Al-Kafawi namanya.
Madzhab secara bahsa terbagi menjadi tiga makana. Yang pertama madzhab
berarti al-mu’taqad, yang diyakini. Yang kedua madzhab itu
memiliki makna ath-thariqah, jalan atau metode. Secara istilah, ma
dzahaba ilayhil imam minal aimmah minal ahkam al-ijtihadiyah. Sesuatu yang
menjadi pendapat imam atau ahli agama tentang hukum-hukum yang ijtihadiyah
yang merupakan keberikdigali dari sumbernya.
Jadi,
bermadzhab merupakan keberikutan pendapat imam yang bersifat ijitihadiyah.
Tentunya mencakup dua hal,yaitu persolan ushul (pokok) dan furu’
(cabang). Ushul fiqih dan fiqih sebagai hasilnya. Pendapat imam
tentang ushul fiqih juga madzhab, oleh NU disebut sebagai manhaji
(metodologis); kemudian ada pendapat imam tentang furu’, yakni fiqih,
hasil dari istinbath (penyimpulan) hukum terhadap kasus-kasus yang
terjadi pada setiap madzhab.[16]
III.
Sekilas
tentang Nahdhatul Ulama (NU)
Agama Islam
mengalami perkembangan pesat, baik di perkotaan maupun di daerah pedesaan.
Perbedaannya, di perkotaan berkembang Islam modernis (menginginkan
pembaharuan), sementara di pedesaan berkembang Islam tradisional. Oleh karena
itulah pada tanggal 31 Januari 1926 para ulama yang mengadakan pertemuan di
Surabaya mendirikan organisasi yang diberi nama Nahdlatul Ulama (NU). Pertemuan
tersebut dihadiri oleh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab hasbullah, KH. Bisri
Syamsuri, KH. Mas Alwi dan KH. Ridwan.[17]
Secara
historos, kelahiran NU dibidani Hadrarus Syekh Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama
terkemuka lain seperti KH. Wahab Hasbullah dan Bisri Sansuri, tahun 1926. Salah
satu tujuannyauntuk melindungi praktik dan pemikiran keagamaan Muslim Indonesia
yang beda dengan praktik dan pemikiran keagamaan Muslim Timur Tengah, khusunya
Arab Saudi, yang puritanistik.[18]
Meminjam
kerangka teori Elnerst Gellner, NU berdiri untuk membela praktis Islam yang
cenderung dekat dengan local Islam. Dalam kitab Qanun Asasi Li Jami’ati
Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari memprihatikan adanya gerakan keagamaan
baru yang menyerukan pemberatasan bid’ah (heterodoksi) dengan “kedok” kembali
kepada Al-Qur’an. Padahal, gerakan baru inilah yang sebenaarnya memproduksi
bid’ah. Pernyataan KH. Hasyim ini bias dianggap (1) merespons situasi
internasional tentang maraknya gerakan Wahabisme di Timur Tengah dan, (2)
terhadap situasi nasional tentang maraknya gerakan pembaharuan (puritanisme)[19]
Islam. Dari sini bisa disimpulkan, pendiri NU bukan untuk tujuan politik
kekeuasaan, tetapi politik (keagamaan) kerakyatan. [20]
Sejarah
berdirinya NU bermula dari keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia akibat penjajahan maupun
akibat kungkungan tradisi. Apa yang terjadi masa itu menggugah kesadaran kaum terpelajar
untuk memperjuangkan martabat bangsa ini melalui jalan pendidikan dan
organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan
Nasional.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan
kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi
pergerakan, seperti Nahdhatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916.
Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul
Afkar atau dikenala juga dengan Nahdhatul fikri (Kebangkitan Pemikiran),
sebagai wahana pendidikan social politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari
situ kemudian didirikan Nahdhatul Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar).
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni madzhab Wahabi
di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun
pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid’ah. Gagasan
kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia,
baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bawah
pimpinan H.O.S. Tjokrominoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini
membela keberagamaan, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan
peradaban tersebut.
Sikap kalangan pesantren yang berbeda ini, menyebabkan kalangan pesantren
dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam Yogyakarta 1925. Akibatnya kalangan
pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami
(Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan
tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzhab
serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren
terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang
diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan
pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru
umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat
ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang
berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan
peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad
hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih
mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka
setelah berkordinasi dengan berbagai Kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk
membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama)
pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim
Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy’ari
merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah
Wal Jama’ah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU[21],
yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam
bidang sosial, keagamaan dan politik.[22]
Pada
Mukaddimah Khittah NU alinea pertama disebutkan, NU didirikan atas dasar
kesadaran dan keinsafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya,
bila bersedia untuk hidup bermasyarakat. Dengan bermasyarakat, manusia berusaha
mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya terhadapnya. Selanjutnya pada alinea
ketiga berbunyi, NU dengan demikian merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan
ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada
Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tentram, adil dan sejahtera.[23]
IV.
Taqlid dan Bermadzhab dalam pandangan Nahdhatul Ulama
(NU)
Orang-orang yang memiliki ilmu agama mendalam tetapi tidak memenuhi
persyaratan mujtahid, lebih baik taqlid (mengikuti) kepada ulama yang memiliki
kemampuan berijtihad karena telah memenuhi persyaratannnya. Bagi NU, taqlid
tidak hanya berarti mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya,
melainkan juga mengikuti jalan pikiran
imam madzhab dalam menggali hukum.[24]
Menurut Kiai Muchith, cara beragama yang terbaik adalah dengan menjadi muqallid
yang terus-menerus senantiasa belajar meningkatkan pola keberagamaan umat. Atau
meminjam bahasa Abdurrahman Mas’ud, yaitu menjadi muqallid kritis, sebagaimana
dilakukan oleh Syaikh Nawawi Al-Jawi. Posisi Kiai Muchith yang menjadi muqallid
kritis bisa dipahami karena Kiai Muchith hidup dan tumbuh di lingkungan
pesantren yang sangat ta’dzim pada guru yang bersambung sanad belajar
pada para muallif kitab dan (bahkan) pendiri madzhab.[25]
Kiai Nuril Huda, seorang tokoh NU, pernah menulis, bagi orang awam taqlid
atau mengikuti ulama mujtahid yang telah memahami agama secara mendalam
hukumnya wajib, sebab tidsk semua orang mempunyai kemampuan dan kesempatan
untuk mempelajari agama secara mendalam.
Lalu kepada siapakah kita bertaqlid? Kita bertaqlid kepada salah satu
dari madzhab empat yang telah dimaklumi oleh seluruh Ahli Ilmi, tentang
keahlian dan kemampuan mereka dalam Ilmu Fiqih.
Di samping itu telah dimaklumi pula ketinggian akhlaq dan taqwa
mereka yang tidak akan menyesatkan umat. Mereka adalah orang yang takut kepada
Allah SWT dan telah telah meletakkan hukum bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah,
Al-Ijma’ dan Al-Qiyas. Namun, ketika kita boleh bertaqlid, bukan kemudian kita
bertaqlid kepada sembarang orang yang belum mutawatir kemasyhurannya. Tentu
taqlid semacam itu justru akan membawa kesesatan. Kita bertaqlid kepada ulama
yang telah diakui umat, baik akhlaq dan sikapnya sehari-hari, di mana fatwa
mereka diyakini berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman:
إِنَّما يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبادِهِ الْعُلَماءُ إِنَّ اللَّهَ
عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya
yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah para Ulama.”[26]
NU memiliki
banyak sekali tokoh yang seringkali pendapat-pendapatnya dijadikan rujukan oleh
jamaah Nahdhiyin, meskipun tidak diijma’kan dalam Bahtsul Masail.[27]
KH. Abdurrahman Wahid misalnya, beberapa kali mengeluarkan pendapat-pendapat
seputar hukum Islam yang tidak jarang kontroversial dengan ulama NU lain.
Dalam buku
Fiqh Ikhtilaf NU-Muhammadiyah, pembahasan tentang madzhab dalam pandangan NU agaknya
perlu untuk dipertegas. Hal ini penting mengingat pandangan tentang madzhab
akan sangat mempengaruhi pengistinbatan hukum yang dilakukan oleh ormas
tersebut. NU yang mengaku berhaluan ahlus sunnah wal jamaah dalam bidang
fiqh terang-terangan bermadzhab Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan
Imam Hanbali. Apabila dalam suatu masalah tidak ditemukan jawaban dari empat
madzhab tersebut maka baru dilakukan ijtihad.[28]
Ketika di kalangan tradisional dihembuskan wacana untuk bernadzhab secara
manhaji, maka Kiai Muchith termasuk tokoh yang mengamininya. Bagi Kiai Muchith,
bermadzhab seharusnya memang tidak hanya mengikuti diktum-diktum qaul
al-ulama yang juga disebut madzhab Qauli, namun selayaknya juga mengikuti
manhaj (metode) yang digunakan para ulamadalam melakukan istinbat hukum Islam (istinbat}al-ahkam
asy-syari’ah).[29]
NU tidak
menganggap bahwa bermadzhab bisa diartikan dengan sepenuhnya taklid. Pengertian
taklid, menurut ormas tradisional ini, hendaknya jangan digambarkan seperti
kerbau yang cocok hidungnya, taklid buta, atau membuta tuli tanpa ada
kesempatan menggunakan akal pikiran, tanpa boleh mempelajari dalil Al-Qur’an
dan Al-Hadits. Pada taraf permulaan memang demikian. Setiap pelajaran yang diberikan
oleh ulama, Kiai, serta guru hendaknya diterima dan diikuti. Selanjutnya setiap
muslim didorong dan dianjurkan untuk mempelajari dalil dan dasar pelajaran
tersebut dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.
NU
berpandangan bahwa bermadzhab bukanlah tingkah laku orang bodoh, tetapi
merupakan sikap wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal,
Imam Bukhari masih tergolong orang yang bernadzhab Syafi’i. Jadi, menurut NU,
bermadzhab juga ada tingkatan-tingkatannya. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin
tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin
akhirnya berijtihad sendiri.
Hasil ijtihad
atau madzhab seorang mujtahid biasanya diterima dan diikuti oleh orang lain.
Sementara orang lain yang tidak berkemampuan berijtihad sendiri yang menerima
dan mengikuti hasil ijtihad disebut bermadzhab kepada mujtahid tersebut.
Ibaratnya yang berijtihad adalah produsen dan yang bermadzhab adalah konsumen.
NU memandang
akan sangat sulit dan sedikit orang yang mampu melakukan ijtihad. Padahal semua
orang Islam sudah harus melakukan perintah dan menjauhi larangan Allah,
meskipun belum mampu berijtihad. Karena itu, NU sebenarnya tidak memaksa
kaumnya untuk bertaklid dan bermadzhab tetapi memberi dua alternatif:
1.
Berijtihad
sendiri, yang dapat dilakukan oleh mereka yang memenuhi persyaratan.
2.
Menerima dan
mengikuti hasil ijtihad atau bermadzhab atau bertaqlid, yang dapat dilakukan
oleh semua orang. Kenyataan memang menunjukkan bahwa hampir semua orang Islam
melakukan taqlid, setidak-tidaknya pada waktu permulaan yang cukup panjang,
bahkan seumur hidup karena tidak pernahmencapai kemampuan untuk berijtihad
sendiri.
Menurut
pandangan NU, bermadzhab adalah upaya untuk menempuh jalan yang lebih selamat
dari kekeliruan di bidang agama yang membawa konsekuensi ukhrawi dan hal
tersebut dapat dipertanggungjawabkan serta dibenarkan berdasar Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Sedang taqlid buta, atau taqlid kepada sembarang orang tertentu
dilarang oleh agama. Bagi mereka yang ada kesempatan dan kemampuan tentu wajib
mengetahui seluk beluk dalil yang dipergunakan oleh para fuqaha’. Namun, untuk
mencapai derajat mujtahid barangkali sulit, walaupun kemungkinan itu selalu ada.[30]
Menurut
pendapat NU tentang sistem bermadzhab sebagaimana yang telah dijelaskan diatas
tidak sama seperti realita kehidupan masyarakat NU dalam bermadzhab.
Mayoritas kalangan NU bermadzhab pada
Imam Syafi’i, madzhab yang mayoritas dianut oleh Negara Indonesia. Sehingga ada
juga dikalangan NU bermadzhab khusus pada imam Syafi’i hingga menyampingkan
kalangan yang tidak bermadzhab pada imam Syafi’i. Salah satu yang mendasari NU
bermadzhab termasuk juga karena mereka hanya mengikuti apa yang diajarkan kiai
atau gurunya. Sehingga prinsip bermadzhab mereka pun menimbulkan taqlid dengan
sebuah alasan tadzimnya mereka terhadap guru. Namun, pada realita yang ada, ta’dzim
tersebut berlebihan pada prakteknya. Sampai hal apa yang dikerjakan ulama, kiai
atau gurunya mereka seperti sebuah kebenaran.
Menurut
KH. Sahal Mahfudh, kenyataan mengenai NU terlalu dominan pada madzhab Syafi’i
memang ada. Pendapat para ulama Syafi’iyah masih cukup dominan dalam forum bahtsul
masa’il NU. Mendominasi pada Syafi’i bukan berarti NU menolak pendapat (aqwal)
ulama di luar Syafi’iyah. Hal itu dilakukan lantaran para Kiai NU memang tidak
mempunyai referensi lain di luar madzhab Syafi’i semisal kitab Al-Mudawanah
karya Imam Malik.
V.
Hukum Taqlid
Menurut Ulama NU
Taqlid sering diartikan dengan mengikuti pendapat dari ulama
mujtahid. Orang yang taqlid adalah orang yang tidak berijtihad atau
mengistinbatkan hukum sendiri, melainkan mengikuti hasil ijtihad yang sudah
dilakukan ulama terdahulu.
Menurut KH. Nuril Huda, Ketua PP LDNU, taqlid bagi orang
awam atau mengikuti ulama mujtahid yang telah memahami agama secara mendalam
hukumnya wajib, sebab tidak semua orang mempunyai kemampuan dan kesempatan
untuk mempelajari agama secara mendalam. Pendapat ini didasarkan pada dua ayat
Al-Qur’an:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ
لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا
إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak pantas orang beriman pergi ke medan perang semua, hendaknya
ada sekelompok dari tiap golongan dari mereka ditingggal untuk memperdalam
agama dan memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali
kepadanya, mudah-mudahan mereka itu takut.”[31]
Dalam ayat ini, masih menurut Nuril Huda, jelas Allah SWT menyuruh
kita untuk mengikuti orang yang telah memperdalam agama. Dalam ayat lain secara
lebih tegas Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ
قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ
كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka hendaknya kamu bertanya orang-orang yang ahli Ilmu
Pengetahuan jika kamu tidak mengerti.”[32]
NU sendiri jelas, menyarankan kepada kaum muslimin, khususnya yang
awam, untuk bertaqlid kepada madzhab yang empat (Hanafi, Hanbali, Maliki,
Syafi’i), yang mana mereka telah dimaklumi oleh seluruh Ahli Ilmi, tentang keahlian
dan kemampuan mereka dalam Ilmu Fiqih.
Meski NU mewajibkan taqlid bagi orang awam, bukan berarti NU
menyuruhnya taqlid. Bagi mereka yang memiliki kesempatan dan kemampuan berijtihad
tentu wajib mengetahui seluk beluk dalil yang dipergunakan oleh para fuqaha.
Mengkaji seluk beluk dalil dan hujjah para fuqaha adalah cara agar kita tidak
terjebak pada fanatisme buta.[33]
Bagi NU, taqlid tidak hanya berarti mengikuti pendapat orang lain
tanpa mengetahui dalilnya, melainkan juga mengikuti jalan pikiran imam madzhab dalam menggali
hukum. Faham taqlid bermadzhab, menurut Dr. Said Agil Husein al-Munawwar sangat
erat kaitannya dengan tradisi intelektual pesantren. Tramisi ilmu di pesantren
berlangsung melalui pengajian kitab kuning. Kitab-kitab fiqh yang dipelajari
mewariskan fatwa dari ulama generasi sebelumnya dengan sanad yang tidak
terputus. Tramisi ilmu seperti itu diyakini memberikan jaminan untuk memperoleh
kemurnian ajaran dari sumbernya yang pertama. Oleh karena itu, pintu ijtihad
menurut NU hanya terbuka dalam kerangka pemikiran madzhab. Jadi dalam
menyelesaikan suatu masalah, Lajnah Bahtsul Masa’il tidak menggunakan istilah
ijtihad yang diyakini hanya layak bagi ulama mujtahidin terdahulu,
melainkan memakai istilah istinbat (penggalian dan penetapan) hukum
dengan pendekatan madzhabiy. Artinya para ulama yang tergabung dalam
Lajnah Bahtsul Masa’il memecahkan masalah keagamaan yang dihadapi warga NU
dengan berorientasi pada madzhab-madzhab fiqh yang dibatasi pada fiqh empat madzhab.[34]
Hukum bertaqlid berbeda-beda sesuai dengan orang yang bertaqlid dan
masalah apa yang ditaqlidi. Dalam masalah agama, bidang yang ditaqlidi terbagi
2, yaitu masalah aqidah (ushul) dan masalah fiqih (furu’).
Seorang muslim dilarang (diharamkan) taqlid dalam masalah-masalah
aqidah. Mayoritas ulama sepakat bahwa hukum bertaqlid dalam masalah aqidah adalah haram. Imam
Asy’ari dan mayoritas Mu’tazilah menyatakan: Seseorang tidak akan mendapat
predikat mukmin hingga ia meninggalkan taqlid. Namu, Imam Syaukani membantah
pendapat itu dengan menyatakan, bahwa mereka tetap mukmin dan tidak boleh
digelari dengan gelar fasiq. Sebab, syariat tidak membebani seseorang dengan
sesuatu yang tidak sanggup dipikulnya.[35]
Di dalam kitab Irsyad, Al-Fuhuul, Imam Syaukani menyatakan, bahwa
para lama berbeda pendapat mengenai bolehnya taqlid dalam masalah syariat.
Jumhur ahli ilmu berpendapat, bahwa taqlid dalam masalah syariat dilarang
secara mutlak. Imam Al-Qarafiy menuturkan: madzhab Malikiyah dan mayoritas
ulama menyatakan wajibnya ijtihad dan membatilkan taqlid.
Imam Al-Amidiy memilih pendapat yang membolehkan seseorang
bertaqlid kepada seorang mujtahid. Beliau menyatakan,”Masyarakat awam dan
orang-orang yang tidak memiliki keahlian untuk berijtihad, meskipun ia memiliki
sebagaian ilmu yang bisa digunakan untuk berijtihad, wajib mengikuti pendapat
para mujtahid, dan mengambil fatwanya. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh
ahli pentahqiq dalam masalah ushul. Menurutnya, pendapat ini didukung oleh
nash, ijma’ dan akal pikiran.[36]
Tentang status hukumnya, taqlid di bidang fiqih (bukan aqidah) ada
beberapa pendapat yang cukup panjang pembahasannya. Dalam hal ini Dr. Said
Ramadlan mengutip kata Imam Ibnu Al-Qoyyim yang disetujui oleh beberapa ulama
sebagai berikut. Bahwa telah lengkapnya kitab-kitab Al-Sunan saja belum cukup
untuk dijadikan landasan fatwa, tetapi juga diperlukan tingkat kemampuan istinbath
dan keahlian berfikir dan menganalisa. Bagi yang tidak memiliki kemampuan
tersebut, maka ia berkewajiban mengikuti firman Allah: fas’alu ahla
al-dzikri in kuntum laa ta’lamun, yang salah satu pengertiannya adalah
taqlid.[37]
Hukum taqlid dalam pandangan NU tak berbeda jauh dengan pendapat
para ulama salaf. Sebagaimana pendapat ulama dalam kitabnya, NU pun ada
sebagian pengambilan hukm taqlid dari buku-buku ulama salaf.
Ahli taqlid bukan termasuk dalam kategori ahli fuqaha, maka
muqallid bukan seorang yang faqih. Dalam kalam nabi SAW, sesungguhnya fiqh itu
terpuji dan taqlid itu tercela, dan itu temasuk dari macam kelalaian.[38]
Para ulama belum bersepakat pada satu pendapat dalam menentukan
hukum khusus bertaqlid diperbolehkan atau tidak. Maka telah dinukilkan bahwa salaf
dan kelompok empat madzhab melarang untuk mengambil taqlid. Al-Mufadlil bin
Ziyad berkata : “ Janganlah kamu bertaqlid pada agama seseorang, maka sungguh
mereka sekali-kali tidak akan selamat dari kesalahan.” Dari perkataan Abi
Hanifah dan Abi Yusuf : “Haram bagi siapa saja yang belum mengetahui perkataanku
dan kemudian ia berfatwa dengan hujjahku.” Dan berkata Malik : “ Sesungguhnya
aku manusia, aku pun pernah berbuat salah dan benar. Setiap apa yang sesuai
dengan kitab dan sunnah maka ambillah, dan setiap apa-apa yang belum sesuai
dengan kitab dan sunnah maka tinggalkanlah.” Imam Syafi’i mengisyaratkan orang
yang bertaqlid dalam risalahnya dengan mengatakan : “Permisalan orang yang
menuntut ilmu tanpa hujjah seperti orang yang pencari kayu di malam hari, ia
membawa seikat kayu yang didalamnya ada ular yang akan mematuknya, namun ia
tidak mengetahuinya.” Dari Ibnu Hanbal sesungguhnya ia berkata : “Janganlah
bertaqlid pada agama seorangpun diantara kalian. Apa yang datang dari Nabi dan
para sahabatnya maka ambillah, kemudian tabi’in setelahnya disuruh untuk
memilih.” Dan Al-Qurafy Al-Maliki menukil dari sesungguhnya madzhab Maliki dan
jumhur ulama berkata wajibnya berijtihad dan membatalkan taqlid.”[39]
Sama seperti halnya bermadzhab, NU dalam bertaqlid pun tak sesuai
dengan apa yang mereka katakan. Seperti apa yang sudah dipaparkan, karena paham
mereka didalam ke-NUan itu dengan paham aswaja ala NU. Realita sekarang taqlid
mereka pun tidak pada mujahid langsung. Namun, pada kiai atau guru yang
mengajarkan ilmu kemudian mereka bertaqlid padanya dan tidak langsung merujuk
pada mujtahid. Padahal, kiai mereka pun kembali pada perkataan mujtahid setiap
memahami perkara hukum.
Contoh taqlid buta NU yang tidak masuk akal adalah seperti apa yang
telah di beritakan detikNews.com:
Senin, 27/12/2010 16:50 WIB
Gus Dur Dinobatkan Sebagai Ketua Dewan Syuro
Akbar PKB
Rois Jajeli – detikNews
Surabaya – Meski sudah
wafat, namun KH. Abdurrahman Wahid alis Gus Dur masih tetap diberi jabatan oleh
PKB Gus DUr. Para kiai PKB Gus Du rang didukung peserta muktamar (muktamirin)
sepakat memberi jabatan Ketua Dewan Syuro Akbar kepada mantanPresiden RI itu.
“Sejak hari ini Gus Dur dinobatkan sebagai
Ketua Dewan Syuro Akbar,” ujar Kepala Desk Politik DPP PKB Gus Dur, Adhie
Massardi. Penobatan jabatan Gus Dur ini ditetapkan dalam Muktamar III PKB Gus
DUr yang digelar di Hotel Garden Palace, Jalan Yos Sudarso, Surabaya, Senin
(27/12/2010).
Adhie menjelasakan penobatan itu juga mengacu
pada kepengurusan PBNU. Jika di PBNU, almarhum KH. Hasyim Asy’ari dinobatkan
sebagai Rois Akbar, maka di PKB, Gus Dur dinobatkan sebagai Ketua Dewan Syuro
Akbar.
“Kalau di PBNU, kebesaran Hasyim Asy’ari tidak
ada yang menggantikan. Juga demikian Gus Dur, kebesaran beliau di PKB juga
tidak ada yang menggantikan,” tutur mantan Juru Bicara Presiden Gus Dur itu.
Bagi Adhe, nama besar Gus Dur juga tidak hanya
di PKB, tapi juga diakui di kancah nasional maupun internasional.
Muktamar III PKB Gus Dur digelar mulai Minggu
(26/12/2010). Dan hari ini Senin (27/12/2010), putri Gus Dur, ZAnnuba Ariefah
Chafsoh alias Yenny Gus Dur dipiih secara aklamsi sebagai ketua umum DPP PKB
Gus Dur.
(bdh/asy)[40]
Berita ini tidak hanya dimuat di detikNews.com, liputan6.com pun menyampaikan
berita Gus Dur ini dengan teks berita yang sedikit berbeda.
Gus Dur Dinobatkan Jadi Dewan Syura Akbar
on 27 Des 2010 at 13:24 WIB
Liputan6.com, Jakarta: Muktamar III
PKB Gus Dur menobatkan almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Dewan
Syura Akabr partai itu di Surabaya.
Gagasan penobatan Gus Dur tersebut dilontarkan Ketua Dewan Syura
KH. Ahmad Sahid saat menyampaikan pidato penutupan muktamar yang langsung
disetujui seluruh peserta muktamar, Senin (27/12).
“Gus Dur sebagai Dewan Syura Akbar bukan jasmaninya tapi visinya,”
tandas kiai asal Jawa Barat itu.
Dalam kesempatan ini, Ahmad Sahid juga menegaskan PKB Gus Dur harus
ikut Pemilu 2014 sehingga diperlukan upaya keras untuk mewujudkan niat
tersebut.
Ahmad Hamid juga berpesan agar jajaran PKB Gus Dur berupaya keras
meraih kepercayaan rakyat sebagai modal menghadapi Pemilu 2014. “Mari kita
lakukan apa-apa yang membuat rakyat percaya,” kata pimpinan Pesantren Hamdalla
Cileuyi, Bandung tersebut.
Sementara itu Ketua Umum PKB Gus Dur, Zannuba Ariffah Chafsoh atau
Yeny Wahid dalam pidato politiknya juga menegaskan tekaad untuk membawa partai
ikut Pemilu 2014.
Untuk itu, ia meminta jajaran PKB Gus Dur terus melakukan
kerja-kerja politik dan terus melakukan konsolidasi.
Pada bagian lain Yenny juga menyinggung sistem politik di Indonesia
yang terkesan hanya menekankan pada demokrasi mayoritas dengan mengabaikan
suara rakyat. “Ini harus diperbaiki. Suara rakyat harus dihargai,” katanya
(Ant/MEL)[41]
Contoh yang disebutkan diatas sama sekali tidak ada dalil yang
dijadikan hujjah oleh NU. Sebagaimana pengertian taqlid yang sudah dipaparkan
diatas. Hajaiz Ahmad pun memberitakan taqlid NU ini di nahimunkar.com. Ia mengatakan
sama sekali tidak dapat ditemukan dalil yang mendasari dijadikannya seorang
yang sudah mati dijadikan pemimpin dalam organisasi yang sedang berjalan di
dunia ini. Orang sudah mati diangkat oleh organisasi kepengurusan NU sebagai
pemimpin saja tidak masuk akal apalagi dijadikan pimpinan umum yang agung (Rois
Aam Akbar). Apakah NU itu organisasi orang-orang yang sudah mati?
Terhadap sikap yang menyalahi ini fithrah manusia normal yang
seperti itu, maka umat Islam perlu membaca ayat ini, tuntunan sekaligus
peringatan Allah SWT:
أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ
رَشِيدٌ
“Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?”[42]
VI.
Penutup
Penulis bisa menyimpulkan dari makalah ini,
bahwasannya NU sendiri masih ada perbedaan diantara kalangan sesamanya.
Walaupun sudah sejak dahulu, NU mempunyai peraturan yang tersusun dalam khittah
NU. Pada kenyataannya, NU disetiap daerah berbeda-beda dalam pengambilan hukum.
Begitu pula dalam hal taqlid, ulama NU zaman dahulu ada sebagaian yang
menyatakan taqlid boleh hanya untuk awam dalam hal yang furu’, akan
tetapi yang terjadi dikalangan generasi NU selanjutnya pada prakteknya tak
seperti ulamanya.
Inilah yang menjadi fenomena yang
membingungkan, mengapa NU berbeda. Mengaku bermadzhab pada imam Syafi’i, namun
prakteknya tak seperti apa yang diajarkan oleh imam Syafi’i. Mereka mengagumi
imam Syafi’i tapi tidak mengenal pribadi dan semangat ilmiahnya secara baik,
hingga mereka sendiri terjebak pada hadits dhoif dan maudhu, dan
akhirnya masuk dalam peragkap bid’ah dhalalah. Bahkan beberapa
pesantrennya NU sudah masuk kurikulum yang banyak memuat hadits dhoif dan
maudhu.
Dalam permasalahan tata cara ibadah misalnya,
sering diantara mereka satu dengan yang lain saling menyalahkan karena
perbedaan bermadzhab. Dan mereka pun terjebak dalam perangkap taqlid pada kiai
NU karena mereka menggunakan dalil bahwa mereka melakukan suatu perkara sesuai
yang diajarkan kiainya tanpa melihat kembali kebenarannya.
Inilah fenomena yang terjadi di Indonesia,
semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca. Mohon maaf yang
sebesar-besarnya atas kesalahan penulis. Saya memohon ampun pada Allah, atas
segala khilaf dan salah.
Daftar Pustaka
Ahmad, Hajaiz. 2010. Contoh Nyata Taqlid Buta Dikalangan NU dan
PKB. Diambil dari: http://www.nahimunkar.com/.
(30 Mei 2015 01.15 WIB)
Al-Ghazaly, Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. 2010. Al-Mustashfa
Min ‘Ilmil-Ushul. Libanon: Daarul Al-Kutub Al-Ilmiyah
Al-Jauzi, Ibnu Qayyim. 2004. ‘Alamul Muwaqi’in. Beirut: Daar
Al-Kutub Al-Ilmiyah
Al-Nawiy, Syamsuddin Ramadhan. Kaedah-Kaedah Taqlid _Tuntunan
Islam Dalam Mengikuti Pendapat.pdf
Asy-Syuhud, Ali bin Naayif. 2008. Al-Kholashoh Fii Ahkamil
Ijtihad Wat-Taqlid.pdf
Az-Zuhaili, Prof. Dr. Wahbah. 2010. Fiqih Islam Wa Adilatuhu.
Jakarta: Gema Insani
Ishomuddin, KH. A., Memahami Esensi Dalam Bermadzhab.pdf.
Jajeli, Rois. 2010. Gus Dur Dinobatkan Sebagai Ketua Dewan Syuro
Akbar PKB. Diambil dari: http://news.detik.com/read/2010/12/27/165042/1533584/10/.
(30 Mei 2015 01.45 WIB)
Liputan6.com, 2010. Gus Dur Dinobatkan Jadi Dewan Syura Akbar.
Diambil dari: http://news.liputan6.com/read/313187/.
(30 Mei 2015 01.30 WIB)
Mahfudh, KH. Sahal. Nuansa Fiqih Sosial.pdf
MN. Harisudin. Ijtihad dan Taqlid dalam Pandangan KH. Muhitch
Muzadi.pdf
Muhammad, Yahya. 2000. Al-Ijtihad Wat-Taqlid Wal Ittiba’
Wan-Nadhor.pdf. Beirut: Muassasah Al-Antasyaar Al-‘Aroobi
Munawwir, A.W. 1997. Al-Munawwir Kamus Bahasa Arab – Indonesia.
Surabaya: Pustaka Progressif
Nugroho, M. Yusuf Amin. Fiqh Ikhtilaf NU-Muhammadiyah.pdf
Prawoto, M.Pd., Drs., Seri IPS Sejarah 2 SMP kelas VIII.
Penerbit Yudhistira
Zada, Khamami & A. Fawaid Sjadzili. Nahdlatul Ulama Dinamika
Ideologi dan Politik Kenegeraan ©2010. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia
Zahro, Dr. Ahmad. 2004. Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul
Masail 1926-1999. Yogyakarta: Penerbit LKiS
[1] A. W. Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab –
Indonesia, (Cet.14; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.1148
[2] Ali bin Naayif Asy-Syuhud, Al-Kholashoh
fii Ahkamil Ijtihad Wat-Taqlid.pdf, (2008), h.244
[3] Syamsuddin Ramadhan Al-Nawiy, Kaedah-Kaedah
Taqlid_Tuntunan Islam Dalam Memilih Dan Mengikuti Pendapat.pdf, h.7
[4] Ibid, hal.7
[5] Ali bin Naayif Asy-Syuhud, Al-Kholashoh
fii Ahkamil Ijtihad Wat-Taqlid.pdf, 2008, hal.244
[6]Ibnu Qayyim Al-Jauzi, ‘Alamul
Muwaqi’in, Libanon, Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2004, hal 351
[7] Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin
Muhammad Al-Ghazaly, Al-Mustashfa Min ‘Ilmil-Ushul, hal.579
[8] Syamsuddin Ramadhan Al-Nawiy, Kaedah-Kaedah
Taqlid_Tuntunan Islam Dalam Memilih Dan Mengikuti Pendapat.pdf, hal.8
[9] KH. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih
Sosial.pdf, hal.11
[10] Ali bin Naayif Asy-Syuhud, Al-Kholashoh
fii Ahkamil Ijtihad Wat-Taqlid.pdf, 2008, hal.244
[11] Syamsuddin Ramadhan Al-Nawiy, Kaedah-Kaedah
Taqlid_Tuntunan Islam Dalam Memilih Dan Mengikuti Pendapat.pdf, hal.7
[12] Yahya Muhammad, Al-Ijtihad Wat-
Taqlid Wal- Ittiba’ Wan-Nadhor.pdf, (Cet.1; Beirut: Muassasah Al-Antasyaar
Al-‘Aroobiy, 2000) h.93
[13] Prof. Dr. Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie
Al-Kattani.dkk, (Cet.1; Jakarta: Gema Insani, 2010) h.55
[14] KBBI, h.726
[15] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih
Islam Wa Adilatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-Kattani.dkk, (Cet.1;
Jakarta: Gema Insani, 2010) h.39
[16] KH. A. Ishomuddin, Memahami
Esensi Dalam Bermadzhab.pdf, h.1
[17] Drs. Prawoto, M.Pd., Seri IPS
Sejarah 2 SMP kelas VIII, (Cet.I; Penerbit Yudihistira, 2007) h.72
[18] Puritanistik, nomina (kata benda)
dari kata puritan: orang yang hidup saleh dan menganggap kemewahan dan
kesenangan sebagai dosa.
[19] Paham dan tingkah laku yang
didasarkan atas ajaran kaum puritan.
[20] Khamami Zada & A. Fawaid
Sjadzili, Nahdlatul Ulama Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan ©2010,
(Jakarta;Perbit PT. Gramedia), h.4
[21] Khittah artinya garis yang
diikuti, garis yang biasa atau selalu ditempuh. Kalau kata khittah dirangkai
dengan Nahdlatul Ulama, maka artinya garis yang biasa ditempuh oleh orang NU
dalam kiprahnya mewujudkan cita-cita yang dituntun oleh faham keagamaannya
sehinnga membentuk kepribadian khas NU.
Jadi pengertian Khittah NU adalah
landasan berfikir, bersikap, dan bertindak warga NU, secara individual maupun
organisator. Landasan yang dimaksud adalah faham Ahlussunnah wal jama’ah yang
diterapkan menurut kondisi masyarakat Indonesia.
Itulah
hakikat Khittah NU yang kemudian dirumuskan dalam “Khittah NU” oleh Muktamar
ke-27 tahun 1984 di Situbondo.
[23] KH. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih
Sosial.pdf, h.6
[24] Dr. Ahmad Zahro, Tradisi
Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999, (Cet.I; Yogyakarta: Penerbit
LKiS, 2004), h.117
[26] QS. Fatir : 28
[27] Bahtsul Masail merupakan
bentuk ringkas dari istilah bahts al-masail al-diniyah (penelitian atau
pembahasan masalah-masalah keagamaan). Bahtsul Masail merupakan suatu
kegiatan diskusi atau musyawarah di kalangan NU untuk mencari jawaban hukum
terhadap masalah-masalah agama yang belum diketahui ketetapan hukumnya.
Kegiatan ini kemudian diberi wadah tersendiri yaitu Lembaga Bahtsul Masail,
selanjutnya disingkat LBM yang bertugas menampung, membahas dan memecahkan
masalah-masalah keagamaan yang mawdu’iyah (konseptual) dan
masalah-masalah keagamaan yang waqi’iyah (aktual) yang memerlukan
kepastian hukum. Masalah-masalah yang dibahas dalm forum bahtsul masail
tersebut, meliputi berbagai bidang masalah keagamaan seperti akidah, akhlak,
fiqih atau hukum islam, dan lain sebagainya.
Secara
historis forum bahtsul masail telah ada sebelum Nahdlatul Ulama berdiri.
Saat tiu sudah ada tradisi diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan kiai
dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam bulletin LINO (Lailatul Ijtima’
Nahdlatul Oelama). Latar belakang munculnya bahtsul masail adalah adanya
kebutuhan masyarakat akan hukum Islam praktis (‘amali) bagi kehidupan
sehari-hari yang mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencari solusi
dengan melakukan bahtsul masail.
[30] M. Yusuf Amin Nugroho, Fiqh
Al-Ikhtilaf NU-Muhammadiyah.pdf, h.53
[31] QS. At-Taubah: 122
[32] QS. An-Nahl: 43
[34] Dr. Ahmad Zahro, Tradisi
Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999, (Cet.1; Yogyakarta:
Penerbit LKiS, 2004), h.117
[35] Syamsuddin Ramadhan Al-Nawiy, Kaedah-Kaedah
Taqlid_Tuntunan Islam Dalam Memilih Dan Mengikuti Pendapat.pdf, h.8, Ali
bin Naayif Asy-Syuhud, Al-Kholashoh fii Ahkamil Ijtihad Wat-Taqlid.pdf,
2008, h.245
[36] Ibid, h.13
[39] Yahya Muhammad, Al-Ijtihad Wat-
Taqlid Wal- Ittiba’ Wan-Nadhor.pdf, (Cet.1; Beirut: Muassasah Al-Antasyaar
Al-‘Aroobiy, 2000) h.95
[40] Rois Jajeli, “Gus Dur
Dinobatkan Sebagai Keua Dewan Syuro Akbar PKB” [Berita], detikNews.com,
Senin, 27 Desember 2010 16:50 WIB
[41] Liputan6, “Gus Dur Dinobatkan
Sebagai Jadi Dewan Syura Akbar” [Berita], liputan6.com, Senin, 27
Desember 2010 13:24 WIB
[42] QS. Hud: 78,
Hajaiz Ahmad, “Contoh Nyata Taqlid Buta Dikalangan NU dan PKB” [Berita] nahimunkar.com,
Senin, 27 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar