[google37929ada0511e260.html] Alfath Cuing-Cincau℠: November 2016 [google37929ada0511e260.html]

Senin, 28 November 2016

Bertarung Dengan Proposal Skripsi



PEMIKIRAN MUNAWIR SJADZALI TENTANG REAKTUALISASI HUKUM WARIS
(Studi Kritik Buku Ijtihad Kemanusiaan)
KEWARISAN ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PERSPEKTIF MUNAWIR SJADZALI
(Studi Kritik Terhadap Pemikiran Reaktualisasi Hukum Waris Munawir Sjadzali)

A.    Latar Belakang Masalah

Pada pertengahan dekade delapan puluhan, Munawir Sjadzali[1] menawarkan gagasan perlunya reaktualisasi atau kontekstualisasi ajaran Islam, yang mendapatkan sambutan, atau lebih tepatnya reaksi yang luas, pro dan kontra. Melalui bukunya yang berjudul Ijtihad Kemanusiaan, ia mempersembahkan kepada masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia, mengenai gagasannya tersebut.[2] Munawir Sjadzali memang jarang dikaitkan dengan liberalisasi Islam. Namun, idenya tentang “Reaktualisasi Ajaran Islam” membuat namanya mencuat sebagai tokoh pembaruan Islam.[3]
Sebagai dalam pengantar buku tersebut, DR. Nurcholish Majdid memberikan sambutan dukungan atas gagasan reaktualisasi ajaran Islam. Agar pembaca dapat menemukan bahan pemikiran segar tentang masalah keagamaan dari buku Munawir ini. Menurutnya, persoalan zaman modern tentu lebih ruwet daripada persoalan sekitar seribu tahun yang lalu. Tetapi dengan menanggung bersama beban pelaksanaan kewajiban ini, insyaallah kesulitan dapat diatasi. Dan buku Pak Mun harus dipandang sebagai bentuk penanggungan bersama beban itu.[4] Prof. DR. H. Busthanul Arifin, SH juga memberikan dukungannya, karena gagasan Munawir tentang “reaktualisasi hukum Islam” ini bukan hanya relevan untuk masa sekarang, akan tetapi mutlak kita perlukan untuk pembentukan hukum nasional Indonesia.[5]
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW., lebih dari empat belas abad yang lalu adalah suatu ajaran yang sangat revolusioner. Kedatangan Islam memicu revolusi besar dalm kehidupan kaum wanita. Mereka yang dalam masyarakat Arab sebelum Islam diperlakukan hampir seperti barang atau benda dan dapat diwaris, oleh Islam diangkat martabatnya dengan diberi kedudukan yang sama dengan kaum pria di hadapan Allah SWT. Tidak dapat diwaris dan sebaliknya berhak menerima waris. Inilah Islam Rahmatan lil al-‘Alamin –menurut Munawir- yang dapat memberikan  sumbangan yang amat besar kepada perkembangan peradaban umat manusia, karena dapat mengangkat martabat kaum wanita.[6]
Situasi dan kondisi umat Islam kini sangat berbeda dari situasi dan kondisi umat Islam di zaman Nabi. Kini umat Islam –atau Dunia Islam- sudah jauh tertinggal oleh Barat.[7] Sehingga Munawir mencatat dalam sinopsis bukunya, bahwa prestasi peradaban Barat terus mencari dengan memanfaatkan intelek atau akal budi. Pengembangan intelektual inilah yang ditengarai telah terhenti di dunia Islam. Akibatnya wahyu Tuhan dipahami secara tekstual dan bukan secara kontekstual. Dan menurutnya juga, ijtihad sebagai wujud kreativitas akal menjadi kebutuhan untuk menghadapi isu-isu kemanusiaan dan peradaban kontemporer.
Melihat realitas kehidupan masyarakat Indonesia, yang menurut Munawwir Sjadzali, kurang mengamalkan ajaran Islam secara sempurna, maka ia melontarkan ide kontekstualisasi ajaran Islam yang menimbulkan kontroversi di kalangan cendekiwan muslim dan ulama pada saat itu. Ide-ide kontekstualisasi ajaran Islam berupa kedudukan wanita, kedudukan warga non-muslim, bunga bank dan mengenai perbudakan. Ia berpendapat bahwa pelaksanaan hukum Islam yang berkaitan dengan hal-hal tersebut tidak relevan lagi. Sebagai contoh ayat tentang waris bagian anak laki-laki dan anak perempuan dalam surat An-Nisa: 11, sudah tidak sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia. Maka terhadap ayat tersebut, menurutnya, perlu diadakan pembaharuan hukum yang sesuai kondisi Indonesia dengan mengedepankan kebutuhan rasa adil dan kemaslahatan umat Islam. Sehingga hukum Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin dapat terwujud dalam kehidupan umat saat ini.[8]
Sebagai contohnya, Munawir menuliskan bahwa masyarakat Surakarta, khususnya di kalangan pengusaha batik, tulang punggung perusahaan keluarga adalah istri. Mulai dari pembelian kain putih dan lilin, pengawasan proses produksi, sampai pemasaran produksi. Peranan suami hanyalah sebagai ‘pembantu utama’, penulis, penagih hutang, dan pengantar anak ke sekolah. Dalam masyarakat dengan budaya seperti itu, tidaklah adil kalau anak pria mendapatkan pembagian warisan dua kali lebih banyak dari saudara perempuannya.[9]
Bagian waris anak laki-laki dan wanita adalah sama dimasukkan juga dalam pembahasan konsep ‘gender equality’ yang digagas kaum feminis Islam, Musdah Mulia dan kawan-kawannya. Pada tahun 2004, Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama Republik Indonesia menerbitkan sebuah buku bertajuk “Pembaharuan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam”. Bukuini telah menjadi perdebatan hebat di Indonesia, sebab untuk pertama kali dalam sejarah Imdonesia, sekelompok cendekiawan dari kalangan Muslim yang concern terhadap masalah gender equality dan berada di bawah naungan Departemen Agama. Diantara pasal yang menimbulkan selain bagian waris, yaitu perkawinan beda agama, nikah tanpa wali, masa iddah suami dan lain-lain.[10]
Munawir kembali berpendapat, kalau terjadi situasi yang demikian memprihatikan sekarang ini adalah disebabkan oleh kegagalan para ilmuwan kita untuk mengembangkan ajaran Islam. Lagi-lagi ia beralasan akan peradaban dunia yang semakin maju, sementara pikiran para ilmuwan Islam terhenti dan daya imaginasi mereka mandek. Menurutnya, kebanyakan mereka –ilmuwan Islam- cenderung- mengadakan pendekatan harfiyah atau tekstual terhadap a yat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Juga dikarenakan kurang jelinya ilmuwan Islam dalam mengamati konteks atau situasi dan kondisi pada waktu wahyu-wahyu itu diturunkan dan/atau petunjuk-petunjuk Nabi itu diberikan.[11]
Padahal, aturan harta warisan telah dijelaskan secara rinci oleh Allah dalam al-Qur’an. Warisan telah ditetapkan dalam al-Qur’an sebagaimana kewajiban lainnya. Allah SWT telah menjelaskan tentang pembagian dan hak warisan di dalamnya.[12] Salah satu aturan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an tentang kewarisan, yaitu dalam firman Allah SWT,
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisa: 7)
Said bin Jubair dan Qatadah berkata: “Dahulu, orang-orang musyrik memberikan hartanya hanya kepada laki-laki dewasa serta tidak memberikan hak waris kepada kaum wanita dan anak-anak.” Orang-orang Jahiliyyah beranggapan bahwa perempuan dan anak kecil tidak berhak mendapat warisan karena mereka tidak bisa ikut berperang sehingga tidak bisa mendapat warisan karena mereka tidak bisa mendapat harta rampasan perang.[13] Maka Allah menghilangkan kebiasaan orang-orang Jahiliyyah ini dengan menurunkan ayat ini.[14]
Firman Allah SWT di atas jelas, bahwa hukum Islam mempunyai nilai-nilai keadilan dan persamaan yang tinggi. Hal ini berarti laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi ahli waris dari ibu-bapak, dan kerabatnya dengan bagian masing-masing seperti yang Allah SWT tetapkan di dalam al-Qur’an. Ketetapan tentang bagian-bagian masing-masing ahli waris itu telah diatur dalam agama Islam dengan sedemikian rupa. Dimana setiap muslim wajib untuk mentaati ketetapan tentang bagian masing-masing yang telah diatur bagi laki-laki dan perempuan. Dalam Islam, pembagian warisan tidak menimbulkan perselisihan antara yang kecil dengan yang besar, antara laki-laki dengan perempuan. Akan tetapi, Islam telah menetapkan ketentuannya sesuai bagiannya secara pasti bagi masing-masing ahli waris.[15]
Dalam hal ini Allah telah menetapkan bagian perempuan dalam warisan dan belum menjelaskan berapa kadar bagian tersebut.[16] Penjelasan bagian hak warisan selanjutnya dijelaskan dalam ayat mawarits surat An-Nisa ayat 11, 12, dan diakhir surat ini.[17] Sa’id bin Musayyib, Adl-Dlihak, dan Ibnu Abbas dalam riwayat Atho’ berkata, “Ayat ini dihapus dengan ayat mawarits, surat An-Nisa ayat 11.[18] Firman Allah SWT.,:
“Allah mensyariatkan (mewajibkan)kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkannya. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang ) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (QS. An-Nisa: 11)
Ibnu Abbas berkata, “Harta warisan dan wasiat bagian hanya untuk kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya, maka Allah menghapus itu semua. Dan menjadikan bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”[19]
Jabir berkata, “Rasulullah dan Abu Bakar sambil berjalan kaki mengunjungiku di Bani Salamah, Rasulullah mendapatiku tak sadarkan diri, lalu beliau meminta air lantas berwudhu darinya. Kemudian ia memercikkan air itu ke mulutku, aku pun tersadar, aku berkata: “Wahai Rasulullah! Apa yang engkau perintahkan kepadaku untuk aku perbuat pada hartaku? Maka turunlah ayat faraidh ini. (HR. Bukhari, no. 5676)[20]
Betapa sangat penting masalah warisan ini sehingga di dalam Kitab Suci-Nya, Allah langsung menentukan bagian dari masing-masing ahli waris. Sedangkan Sunnah Rasul hanya menambahkan beberapa hukum yang ringan. Ini adalah karunia Allah yang tidak dimengerti oleh kaum yang mengedepankan akal sebagai ukurannya. Karena warisan adalah warisan dari Allah ditetapkan dalam Kitab-Nya. Dan setiap perselisihan mengenai pembagian warisan ini tertolak dengan dzahir ayat yang ada didalamnya.[21] Apalagi penjelasan Munawwir jelas-jelas mengubahnya.
Aturan harta telah dijelaskan dengan nash dari al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma. Sebagaimana hukum shalat, zakat, muamalah dan had. Wajib untuk melaksanakan aturan tersebut. Tidak boleh mengubahnya atau bahkan keluar dari aturannya. Walaupun dengan semakin berkembangnya zaman modern.[22] Dalilnya diakhir ayat mawarits Allah menjelaskan, barangsiapa yang melaksanakan ketentuannya maka baginya jaminan surga. Dan bagi yang tidak melaksanakannya maka akan dimasukkannya ke dalam neraka.[23]
Setelah menjelaskan warisan menurut Munawir dan ketentuannya dalam Islam. Inti dari gagasan yang dikemukakan Munawir adalah tentang perlunya mempertimbangkan konteks kehidupan sosial-budaya masyarakat dalam memahami dan membuat kesimpulan hukum dari ayat-ayat al-Qur’an dalam bidang kemasyarakatan. Tanpa melakukannya kontekstualisasi tersebut, ajaran Islam akan ketinggalan zaman, atau kehilangan relevansinya untuk zaman modern ini, atau ajaran tersebut menjadi mati (tidak dapat diamalkan). Oleh karenanya, penulis ingin meneliti lebih dalam metode istinbathnya Munawir sehingga beliau menggagas idenya tersebut. Sekaligus mengkritiknya, karena pemahaman nash waris yang ia protes menyelisihi hukum syariat dalam harta warisan.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana pandangan hukum Islam tentang warisan?

2.      Bagaimana pemikiran Munawir Sjadzali tentang kewarisan Islam?

3.      Apa landasan Munawir dalam mereaktualisasi hukum waris?

4.      Bagaimana kritik terhadap pemikiran Munawir tentang reaktualisasi hukum waris?

 

C.    Tujuan Penelitian

1.      Mengetahui pandangan hukum Islam tentang warisan.

2.      Mengetahui pemikiran Munawir Sjadzali tentang kewarisan Islam.

3.      Mengetahui landasan Munawir dalam mereaktualisasi hukum waris.

4.      Mengembangkan kritik terhadap pemikiran Munawir seputar hukum waris.


D.    Kegunaan Penelitian

1.      Secara Teoritis

a.       Bahan kajian untuk menambah khazanah pengembangan ilmu pengetahuan bagi kalangan akademis maupun masyarakat pada umumnya.
b.      Bahan informasi ilmiah bagi para pembaca dan yang lainnya untuk mengkaji permasalahan kewarisan seperti ini, namun dari aspek yang berbeda.

2.      Secara Praktis

a.       Bagi umat Islam
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengetahuan agar tidak mudah mengekor pada paham pemikiran feminis yang salah satunya adalah menyamaratakan hukum waris bagian laki-laki dan perempuan. Agar umat Islam memahami bahwasanya hukum waris bukanlah ditentukan oleh keadilan manusia akan tetapi ketetapan atas keadilannya langsung oleh Allah SWT., dalam nash al-Qur’an.
b.      Bagi penulis
Sebagai pengetahuan bagi peneliti yang dapat bermanfaat di kemudian hari dan dapt digunakan oleh peneliti dalam memberikan pengertian terhadap masyarakat terhadap hukum waris Islam.

E.     Kajian Pustaka

Beberapa tulisan yang mengkaji tentang hukum waris dalam perspektif Munawir Sjadzali diantaranya adalah:
1.    Dalam bukunya Munawir Sjadzali sendiri, Ijtihad Kemanusiaan, menerangkan bahwa jika penafsiran al-Qur’an dilakukan secara menyeluruh, dalam arti bahwa penafsiran yang dilakukan senantiasa mengaitkan antara ayat yang satu dengan ayat yang lain, maka permasalahan pembagian waris dapat diatasi. Ayat 176 dalam surat An-Nisa yang secara eksplisit menyatakan bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali lebih besar dari anak perempuan. Apabila dikaitkan dengan surat lain yang berisi perintah untuk berbuat adil dan kebajikan, maka akan terlahir suatu pemahaman bahwa suatu ketentuan hukum itu harus sesuai dengan semangat keadilan di tengah masyarakat, dimana hukum itu akan diberlakukan. Inilah salah satu landasan pemikiran Munawir dalam bukunya tersebut.
2.    Dalam Skripsi, Zaitun Ningsih, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, tahun 2012 dengan judul Reaktualiasasi Hukum Islam Munawir Sjadzali Bidang Kewarisan Ditinjau Dari Hukum Progresif. Dalam skripsi tersebut. Zaitun stuju dengan pendapat reaktualisasinya Munawir Sjadzali bahwa dalam melaksanakan hukum waris, khususnya antara anak laki-laki dan perempuan, hendaknya kita sebagai umat Islam, tidak menutup mata terhadap perubahan interaksi sosial, budaya dan lingkungan dimana waris tersebut akan dibagikan. Adapun dalam skripsi yang akan penulis bahas, penulis tidak setuju dengan ijtihad Munawir bahwa perubahan hukum itu, berdasarkan zaman, tempat dan keadaan. Dan penulis akan mencoba untuk mengcounter ijtihad yang tidak sesuai tersebut.
3.    Dalam jurnal Syukri Abubakar, Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Pembagian Waris Di Indonesia, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Al-Ittihad Bima. Beliau memberi kesimpulan dari pendapat Munawir bahwa bila suatu masyarakat menghendaki ketetapan pembagian waris bagian anak laki-laki dengan bagian anak perempuan itu seimbang, dan mereka menganggap bahwa pembagian yang demikian itu adil, maka pembagian demikianlah yang dipakai. Sedangkan penulis akan memberikan statement bahwa ketetapan pembagian waris ini qathi’ dalam al-Qur’an dan termasuk ayat hukum yang tidak bisa diubah oleh siapapun.

F.     Metode Penelitian

1.      Jenis Penelitian

Berdasarkan jenis penelitiannya, maka penelitian ini disebut dengan studi (penelitian) kepustakaan. Yaitu penelitian yang menekankan pustaka sebagai objek studi. Pustaka sendiri adalah hasil olah budi manusia guna menuangkan gagasannya dari seorang ataupun sekelompok orang.[24] Dalam skripsi ini, yang menjadi objek penelitiannya adalah karya Munawir Sjadzali sendiri, sehingga penelitian ini termasuk dalam kategori studi pustaka.

2.      Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan jalan dokumentasi[25] yaitu dengan mengumpulkan data yang diperoleh, kemudian dikelompokkan menjadi dua; primer dan sekunder.

3.      Analisis Data

Adapun dalam menganalisa data tersebut digunakan metode analisa yang dilakukan dengan jalan content analysis[26], yaitu analisis secara langsung pada deskripsi isi pembahasan buku primer di atas, dengan jalan mengkajinya secara kritis, menganalisa isi pesan dan mengolahnya untuk menangkap isi pesan implisit yang terkandung di dalamnya.

G.    Sistematika Penulisan

BAB I: Merupakan kerangka dasar penulisan skripsi yang didahului dengan sebuah pendahuluan. Adapun sistematika pembahasannya berisi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Tinjauan Pustaka dan Metode Penelitian.
BAB II: Bab ini berisi landasan teori yang terdiri dari Defini, Masyru’iyyah, Syarat-Syarat, Hikmah dan Ketentuan Warisan.
BAB III: Dalam bab ini peneliti akan menyajikan Biografi Munawir Sjadzali, Pemikiran Munawir Sjadzali tentang Reaktualisasi Hukum Waris serta landasan yang dipakai dalam menyimpulkan kewarisan.
BAB IV:  Bab ini merupakan bagaian inti yang berisi analisa kritik terhadap buah pemikiran Munawir Sjadzali terkait reaktualisasi hukum waris. Di dalamnya akan disebutkan metode istinbathnya yang disusul dengan bantahan untuk ide reaktualisasi tersebut.
BAB V: Skripsi ini ditutup dengan kesimpulan dan saran. Hal ini penting sebagai penegasan kembali hasil penelitian yang ada pada bab empat, sehingga pembaca dapat memahaminya secara konkrit dan utuh. Adapun saran, merupakan harapan-harapan dan anjuran penulis kepada pembaca hasil penelitian.



Outline Skripsi
I
Pendahuluan
II
Tinjauan Umum tentang Waris dalam Islam
            Pengertian Waris
            Dasar Hukum Waris
            Hikmah dan Ketentuan Waris dalam Islam
III
1Biografi Munawwir Sjadzali
2Pemikiran Munawir Sjadzali Seputar Reaktualisasi Hukum Waris
1Ayat-ayat Al-Qur’an Dalam Pandangan Munawir Sjadzali (metode istinbath hukum)
Keuniversalan dan Keabadian Al-Qur’an
Naskh dan Mansukh
Ayat-Ayat Teporal
Pemahaman Al-Qur’an Antara Tekstual dan Kontekstual
Maqashid At-Tasyri’
2Posisi Anak Laki-laki dan Perempuan Dalam Kewarisan
3Reaktualisasi Hukum Waris Munawir Sjadzali
            Latar Belakang Reaktualisasi Hukum Waris
            Bentuk Reaktualisasi Hukum Waris
IV
Analisis Pemikiran Munawir Sjadzali tentang Reaktualisasi Hukum Waris
            Analisis Pemikiran
            Analisis Metode Istinbath
V
Kesimpulan
Saran-Saran
Penutup

NB: Catatan merah adalah masih dalam koreksi peneliti.


[1] Beliau adalah mantan Menteri Agama Republik Indonesia periode 1983-1988 dan 1988-1993.
[2] Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA., Ijtihad Kemanusiaan, Cet. Ke-1, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997 M), hlm. ix
[3] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, Cet. Ke-7, (Jakarta: Penerbit Hujjah Press, 2010 M), hlm. 57
[4] Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA., Ijtihad Kemanusiaan..., hlm. xv
[5] Ibid, hlm. xxii
[6] Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA., Ijtihad Kemanusiaan..., hlm. 2
[7] Ibid, hlm. 3
[8] Lih. Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA., Ijtihad Kemanusiaan..., hlm. 7
[9] Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA., Ijtihad Kemanusiaan..., hlm. 8
[10] Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Cet. Ke-1, (Jakarta: Gema Insani, 2006 M), hlm. 266, Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia..., hlm. 239
[11] Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA., Ijtihad Kemanusiaan..., hlm. 27
[12] Asbab al-Irts wa Mawani’ihi , hlm. 9, Dr. Musthafa al-Khin, Fiqh al-Munhy, Cet. Ke-9, Jilid. 2, (Damaskus: Daar al-Qalam, 2008 M), hlm. 272
[13] Lih. Tafsir al-Qurthuby, hlm. 32
[14] Lih. Tafsir Ibnu Katsir, hlm 305, Abdurrahman bin Nasir as-Sa’di, Tafsir al-Karim ar-Rahman, Cet. Ke-1, (Beirut: Daar Ibnu Hazm, 2003 M), hlm. 147, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thobary, Tafsir Ath-Thobary, Cet. Ke- 4 , Jilid. 3, (Qahirah: Daar as-Salam, 2009 M), hlm. 2157
[15] Muhammad Ali ash-Shabuny, al-Mawarits fii asy-Syari’ati al-Islamiyah fii Dhou al-Kitab was Sunnah, (Al-Azhar: Daar al-Hadits, t.th), hlm. 18
[16] Ahmad al-Anshory al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby, Cet. Ke-3, Jilid. 3, (Beirut: Daar al-Fikr, 2010 M), hlm. 32
[17] Muhammad al-Amin Asy-Syinqity, Adhwaul Bayan fii Idhohul Qur’an bil Qur’an, Cet. Ke-1, Jilid. 1, (Beirut: Daar al-Fikr, 2005 M), hlm 224
[18] Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily, Tafsir al-Munir, Cet. Ke-, Jilid. 2, (Damaskus: Daar al-Fikr, 2011 M) hlm. 595
[19] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thobary, Tafsir Ath-Thobary..., hlm. 2171, Ahmad al-Anshory al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby..., hlm. 39
[20] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thobary, Tafsir Ath-Thobary..., hlm. 2172
[21] Ahmad al-Anshory al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby..., hlm. 40
[22] Dr. Musthafa al-Khin, Fiqh al-Munhy,,,, hlm. 272
[23] Ahmad al-Anshory al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby..., hlm. 54
[24] Ibnu Subiyanto, Metodologi Penelitian (Seri Diktat Kuliah), (ttp: t.p, t.t), hlm. 93
[25] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Cet. Ke-8, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992 M), hlm. 200
[26] Imam Supriyogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, Cet. Ke- 2, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003 M), hlm. 71