[google37929ada0511e260.html] Alfath Cuing-Cincau℠: Oktober 2015 [google37929ada0511e260.html]

Kamis, 29 Oktober 2015

Pidato Bahasa Inggris

By: Panglima Alfan Jundullah -@alfath2010-


The duty of a muslim before acting is having knowledge. In order to keep our faith (aqidah) on the track, the knowledge (‘ilm) is needed. The greatest crime in islamic point of view, is a crime in Aqidah al Islamiyah or a crime that changes foundation of Islam. Those crime and damage in basic knowledge of Islam have already spreaded in Islamic colleges or universities. There are scenario and grand design behind it.
The study of Islam is not a highly demanded subject by most students since it cannot guarantee their future. Those advanced students tend to be led by their parents to seek worldly knowledge, not about religion one. Someone who gets the religious title, no matter how their quality, it is used only to search a job. Some figures are respected not because of their knowledge and good deeds, but because of their ability in speaking and also their title of K.H. as a symbol of ulama or scholar.
Muslims in Indonesia do not care and do not see this serious problem deeply. Every year, thousands of religious scholars are sent to study about Islam in western, in Jews and Christian orientalists. Why do muslims not seriously prepare the advanced scholars which have the same quality with them?
            In rising up the pride of university, there are several efforts from islamic institutions to enhance themselves by developing them to become universities. General fields are opened. Evidently, those general faculties are more inundated by people than religious faculties. The education of Islam is more complicated since from its faculties, comes deconstructive thoughts towards Islamic science. Three biggest challenges given from the Western to Islam nowadays, those are christianity, orientalism and modern-imperialism.
Thirty years ago, a muslim scholar Prof. Dr. HM Rasjidi reminded us the danger of applying Orientalist method in Islamic study in IAIN, UIN and other Islamic universities. The advises and warnings from him were ignored, and now, it becomes true.
From Islamic-labeled universities, the ‘weird’ thoughts and movement come up.
1. from IAIN Bandung, there came a shocking-screaming, “Welcome to the Free God area.”
2. in 2004, IAIN Yogyakarta made a new history in Islamic scientific tradition by permitting a master thesis that attacked the purity and authenticity of AlQuran.
3. from Syariah faculty of IAIN Semarang, came a journal that attacked Al-Quran and fought for legalization of homosexual marriage.  Religion pluralism and relativism of truth -The modern concept of shirk that admits all religion are true- is spreaded and taught in Islamic universities.
4. from UIN Jakarta, several lecturers support the legalization of marriage across religion.
5. and the most shocking one is from UIN Sunan Ampel Surabaya, in OSCAAR 2014, the senate or SEMA Faculty of Ushuluddin and Philosophy rose the grand theme “God is rot”
Naudzubillahi min dzalik …
What is going on with condition and study path of Islam in Islamic universities in Indoneisa? Why the orientalist framework come easily in Islamic study? Hegemony of western orientalist in islamic study has proven bringing the serious impact in spiritual life in indonesia.
This is the time for IAIN/UIN/STAIN and other Islamic universities to contemplate deeply and seriously as well as having responsibility –in this world and hereafter- toward the content, methodology, quality and the Islamic educational path in every university. The main purpose of Islamic science of high level is to bear the muslim scholars who have advanced qualification in Islamic science, to be role models in acting and are able to be the center of Islamic study as the road to rebuild the great Islamic civilization. Through this all, hoping the IAIN/UIN/STAIN/PTIS will not be the agent of neo-liberalism development in religion field that is recently given to the Islamic educational institutions with worldly offers.

Mengaku Universitas Islam, Tapi ...

Renungan untuk kita semua. Dan bentuk kehati-hatian terhadap aliansi aneh-aneh yang ada di universitas. Karena, jangankan kampus negeri, toh kampus yang mengaku berlabel Univ.Islam saja terkadang nyeleneh. Ilmu yang harusnya menundukkan dirinya. Malah menjadikannya sesat pun ada.
Simak sedikit pidato ini. Semoga bermanfaat.

Kewajiban seorang muslim sebelum beramal adalah berilmu. Agar aqidahnya lurus dan terjaga maka harus memupuknya dengan ilmu. Kemunkaran terbesar dalam pandangan Islam, adalah kemunkaran di bidang aqidah Islamiyah atau kemunkaran yang mengubah dasar-dasar Islam. Kerusakan di bidang ilmu-ilmu dasar Islami ini ternyata telah puluhan tahun merambah perguruan-perguruan tinggi Islam. Ada skenario dan grand design di balik ini semua. Jadi, mencegah kemunkaran adalah sesuatu perkara yang sangat serius kedudukannya dalam ajaran Islam. Allah SWT berfirman dalam surat Ali-Imran : 104 ,
يؤمنون بالله واليوم الأخر ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويسارعون فىالخيرات وألئك من الصالحين
           
Studi Islam bukanlah mata kuliah yang diminati banyak mahasiswa. Karena dianggap tifak dapat menjamin masa depan. Pelajar-pelajar unggulan lebih diarahkan oleh orang tuanya untuk menimba ilmu dunia dan bukan ilmu agama. Sehingga orang dapat gelar sarjana agama, apapun kualitas keilmuannya, sekedar cari gelar untuk cari kerja, sekedar sambilan yang dianggap semacam siraman rohani. Tokoh dihargai dan dihormati oleh masyarakat luas, bukan karena kedalaman ilmu dan kesalehan amalnya, tetapi karena kepandaian bicaranya, dan juga gelar K.H. sebagai symbol dari ulama.
Umat Islam Indonesia tidak peduli dan tidak melihat masalah yang amat serius ini dengan cermat. Setiap tahun, ratusan sarjana agama dikirim untuk belajar tentang Islam di Barat, belajar pada orientalis Yahudi dan Kristen. Mengapa umat Islam tidak serius menyiapkan sarjana-sarjana yang unggul, yang tidak kalah kualitasnya dengan para orientalis?
            Untuk mengangkat martabat kampus, saat ini ada upaya-upaya perguruan tinggi Islam untuk membesarkan diri dengan cara memekarkan dirinya menjadi universitas. Fakultas-fakultas jurusan umum dibuka. Ternyata, justru fakultas baru itulah yang kebanjiran peminat, jauh melampaui minat masuk ke fakultas agama. Masalah keilmuan dan pendidikan islm semakin pelik lagi, karena dari jurusan-jurusan agama, justru muncul pemikiran-pemikiran yang justru dekonstruktif terhadap keilmuan Islam itu sendiri. Tiga tantangan besar yang ditimpakan peradaban Barat terhadap umat Islam saat ini adalah kristenisasi, orientalisme, dan imperialisme modern.


            Tiga puluh tahun yang lalu, cendekiawan muslim Prof. Dr. HM Rasjidi mengingatkan bahaya penggunaan metode Orientalis dalam studi Islam di IAIN, UIN dan perguruan tinggi Islam lainnya. Nasihat dan peringatan Rasjidi itu tidak diperhatikan. Kini, menjadi kenyataan.
            Dari kampus-kampus berlabel Islam bermunculan pemikiran dan gerakan ‘aneh’.
1.      Dari IAIN Bandung, muncul teriakan yang menghebohkan, “Selamat bergabung di area bebas tuhan.”
2.      Tahun 2004, IAIN Yogyakarta membuat sejarah baru dalam tradisi keilmuan Islam, dengan meluluskan sebuah tesis master yang menyerang kesucian dan otentisitas Al-Qur’an.
3.      Dari Fakultas Syari’ah IAIN Semarang, lahir jurnal yang menyerang Al-Qur’an dan memperjuangkan legalisasi perkawinan homoseksual. Pluralisme agama dan relativisme kebenaran –paham syirik modern yang menyerukan kebenaran semua agama- justru disebarkan dan diajarkan di lingkungan perguruan tinggi Islam.
4.      Dari UIN Jakarta, sejumlah dosennyajustru menjadi pendukung gerakan perkawinan antar agama.
5.      Dan paling menghebohkan Indonesia tahun 2014 ini adalah



Ada apa sebenarnya dengan kondisi dan arah studi Islam di perguruan tinggi Islam di Indonesia saat ini?. Mengapa begitu mudahnya framework Orientalis dalam studi Islam menghegemoni wacana studi Islam? Hegemoni orientalis Barat dalam studi Islam terbukti telah membawa dampak yang serius dalam kehidupan keagamaan di Indonesia.

Saat inilah seyogyanya IAIN/UIN/STAIN dan kampus-kampus Islam lainnya melakukan perenungan yang mendalam dan serius serta bertanggung jawab –dunia dan akhirat- atas muatan, metodologi, kualitas, dan arah pendidikan studi Islam di kampus-kampus. Tujuan utama pendidikan Islam tingkat tinggi, adalah untuk melahirkan sarjana-sarjana Muslim yang memiliki kualifikasi keilmuan Islam yang mumpuni, menjadi panutan dalam amal sekaligus mampu menjadi pusat kajian ilmu keislaman sebagai jalan untuk membangun kembali peradaban Islam yang agung. Dengan itu, mudah-mudahan kampus IAIN/UIN/STAIN/PTIS tidak menjadi agen pengembangan paham neo-liberalisme di bidang agama yang sedang gencar-gencarnya dijejalkan ke institusi-institusi pendidikan Islam dengan tawaran duniawi yang menggiurkan.

Surat Untuk Ayah

Created by : Bintu Faisal - Sukoharjo, Jawa Tengah
Sewaktu sekolah ditingkat menengah pertama, aku aktif di organisasi sekolah dan kegiatan ekstrakulikuler setiap hari. Yang membuatku sibuk hingga terkadang telat pulang kerumah. Berangkat pagi, pulang petang. Dan membuat Ayah marah padaku setiap hari.
Ayah, masih ingatkah ketika puncak marahnya Ayah saat itu, engkau berpesan: “kamu gak boleh pacaran selama sekolah. Kalau kamu pacaran, kamu gak boleh lagi sekolah.” Dan Ayah bilang: “lebih baik menikah saja dari pada kamu pacaran!”
Ayah, saat itu juga aku takut tidak bisa lanjut sekolah karena pacaran. Aku sangat menjaga pesan Ayah selama sekolah. Aku sangat menjaga pergaulanku di sekolah. Sehingga aku menyeratakan semua teman itu sama, baik kaya maupun miskin, laki-laki maupun perempuan, pintar maupun biasa-biasa saja. Karena ketakutanku akan hal pacaran, ketika berteman dengan laki-laki aku lakukan seperlunya saja, jika ada yang macam-macam aku langsung berontak. Pernah suatu hari, saat maraknya hp dikalanganku. Ada seorang teman laki-laki yang meminta no hpku lewat teman sekelasku. Telingaku panas mendengar hal itu. Sepulang dari sekolah, aku langsung cegat temanku tadi. Dan ku-marahi dia habis-habisan. “heh! Ngapain kamu tanya-tanya no hp? gak usah macam-macam!” Itulah yang menjadikan karakterku keras, hingga aku dijuluki cewek tomboy. Namun, itulah senjata diriku Ayah, hingga tak pernah ada lelaki berani berbuat macam-macam padaku. Dan inilah hal kebanggaan bagiku, masa remaja kulalui tanpa pacaran, walau harus menyetarakan kesetaraan dalam berteman. Dan tak bisa juga dipungkiri, vmj hampir menyerangku. Karena itulah usia remaja yang sedang puber, Ayah. Namun kuhalangi itu akan pesan Ayah.
Ayah, aku tahu hal ini yang terbaik bagiku setelah aku pahami agama dengan benar. Aku harus berbakti padamu selagi itu benar. Hingga harapan belajar dijenjang kuliah pun aku lakukan tanpa menyelisihi nasehatmu. Ayah, selama usiaku masih cukup untuk belajar dan berbakti padamu dan ibu. Aku akan lakukan hal itu.
Ayah, aku tahu. Batas baktiku padamu sampai aku dapat pemimpin dalam hidupku. Maka setelah itu, berakhir sudah tanggung jawabmu atasku. Aku sedih ayah, jika kau begitu cepat melepaskanku. Disaat aku masih belum menyempurnakan baktiku padamu. Apa ayah rela melepasku? Padahal aku masih begitu buruk di mata ayah, belum menjadi yang baik dan terbaik. Dan kau serahkan aku begitu saja? Apa ayah rela? Ayah, aku masih ingin bersama ayah dan ibu. Aku ingin cita-cita, harapan dan impian untuk berbakti padamu tercapai semua, di sisa akhir usia taatku padamu.
Aku tahu, ayah pernah kehilangan satu permata cantik dambaan ayah. Dan permata itu sudah menjadi tabungan ayah kelak, insyaallah. Dan kini, permata ayah tinggallah aku. Setelah kau lepas aku. Maka ayah sudah tak punya permata lagi di dunia. Dan ketika itu, aku tahu kalau ayah akan sedih melepasnya. Oleh karenanya ayah, aku tak ingin kau melepasku dengan kesedihanmu. Namun, aku ingin kau melepasku dengan penuh kecintaan dan keridhoanmu.
Suatu saat nanti ayah akan menjual permatamu dengan harga yang mahal. Maka sekarang ayah sedang memolesnya dengan ketulusan cinta dan akhlak mulia. Agar ia indah nan jelita. Ayah juga sudah banyak persaingan dalam perdagangan itu. Apalagi ketika teman baik ayah sudah memesankannya untuk putra mahkotanya. Namun, engkau hebat ayah. Engkau bisa menyanggah pemesanan itu dengan baik. Karena engkau masih memolesnya agar sempurna.
Aku tak menyangka teman baik ayah menginginkan permata yang hanya satu-satunya kau miliki, untuk putra mahkotanya. Ayah harus tahu, itu menunjukkan kalau teman ayah sudah tahu bahwa permata ayah itu sangatlah mahal. Maka ia akan memesan lebih dulu dari yang lainnya.
Ayah, aku tahu. Anak teman ayah itu teman kecilku dulu kan ayah? Namun jarak yang menjauhkanku dengannya hingga aku tak mengenalinya lagi. Ia lebih tua dari umurku kan ayah? Namun, ia teman main sewaktu aku masih kecil. Ketika aku menemani pergi ke halaqahnya ayah dan ibu. Teman-teman ayah pun membawa anaknya. Dan aku bermain dengan anak-anak teman ayah. Namun, umurku tak sebaya dengan mereka, aku paling bungsu diantara anak lainnya.
Ayah, aku takut engkau melepasku dari pangkuanmu sebelum waktu yang matang dan tepat. Aku takut tak berbakti padamu, karena tak menuruti apa katamu lagi. Aku takut dapat mengecewakanmu dan tak dapat melakukan yang terbaik untuk ayah.
Ingatlah ayah, permatamu tak akan salah tangan oleh kehendak Allah. Serahkan semua pada-Nya.  Jika memang anak teman ayah adalah tangan yang baik untuk menggantikan ayah. Maka semua akan terjadi sesuai jalan takdir-Nya. Ingat ayah, aku masih ingin bersua bersamamu. Jangan kau lepas aku, ketika kau marah. Jangan kau tinggakanku, setelah kau sedih. Jangan kau biarkan aku dalam diam-mu. Namun, lepaslah aku dengan jabat tangan kuat, yang tangguhannya dapat menggetarkan ketika masa itu tepat bagiku dan bagimu. Dengan kecintaan dan keridhaan engkau akan melepaskanku, bukan dengan tangisan yang terpaksa namun dengan kebahagiaan dan senyuman yang saling merelakan. Karena menghadapi itu semua perlu bekal yang mantap. Dan aku khawatir bekalku tak cukup bahkan kehabisan di tengah perjalanan. Karena perjalanan itu seumur hidup setelah kau melepasku, karenanya aku ingin mempersiapkan bekalnya dan menjadi yang berharga bagi Ayah.
Aku sayang ayah. Terimakasih ayah.J

Rabu, 28 Oktober 2015

DALIL YANG TIDAK JELAS DAN TINGKATAN-TINGKATANNYA



DALIL YANG TIDAK JELAS DAN TINGKATAN-TINGKATANNYA
Oleh : Ibnu El-Qomaru
I.            Pendahuluan
Allah ta’ala menurunkan al-Qur’an kepada Rasulullah SAW., secara berangsur-berangsur. Dalil dalam nash al-Qur’an tidak dapat dipahami secara literal bahasa maupun secara langsung. Secara umum dalil terbagi menjadi 2, dalil tafshili (terperinci) dan ijmali (global). Pada dalil tersebut, ada yang maknanya jelas dan mudah dipahami secara langsung. Dan ada juga yang maknanya tidak jelas, sehingga memerlukan dalil lain yang menunjukkan makna dalil yang tidak jelas tersebut.
Dalam ilmu ushul fiqh ini, terdapat kaidah-kaidah bagaimana ulama menyimpulkan hukum dari nash maupun sunah. Karena dengan kaidah ini dapat menjadikan kesimpulan hukum yang dapat dipahami secara jelas dan benar.[1] Salah satu kaidah tersebut adalah nash yang tidak jelas dalil dan maknanya. Oleh karenanya, penulis akan menjelaskan pada kaidah ini bagaimana dalil yang tidak jelas dan tingkatan kesamarannya, serta sesuatu yang menghilangkan kesamarannya.
II.         Pembahasan
A.    Pengertian Dalil Yang Tidak Jelas
Dalalah secara bahasa adalah bentuk mashdar sima’i dari kata dalla – yadullu –dalalatan. Kata dalla diartikan dengan abana (menjelaskan), maka dalalah berarti menjelaskan sesuatu dengan tanda. Kata dalla juga diartikan dengan hada (menunjukkan) dan arsyada (menunjukkan).
Secara istilah, dalalah memiliki banyak definisi, akan tetapi disini cukup dipaparkan satu definisi saja yang sudah mencakup dalalah lafdziyyah dan dalalah ghairu lafdziyyah, yaitu perihal sesuatu yang mengetahuinya meniscayakan mengetahui sesuatu yang lain.[2]
Pada buku Ushul Fiqh-Abdul Wahhab Khallaf disebutkan, nash-nash yang tidak jelas dalalahnya ialah : sesuatu yang tidak menunjukkan terhadap yang dikehendakinya dengan shighatnya sendiri, akan tetapi pemahaman maksudnya tergantung pada sesuatu yang khariji (bersifat external).[3]
Sedangkan dalam buku ushulnya DR. Wahbah az-Zuhaili menjelaskan dalil-dalil yang tidak jelas dari nash adalah dalil yang tidak menunjukkan pada makna aslinya yang dimaksud, akan tetapi untuk memahaminya diperlukan faktor dari luar.[4]
Dalam buku al-Wajiiz fii Ushul-Fiqh, madzhab Hanafi menyebutkan pembagian dalil yang tidak jelas adalah tersiratnya makna pada dalil-dalil yang terdapat dalam nash. Terbagi menjadi 4 tingkatan menurut sebab ketidakjelasannya,[5] yaitu:
1.       Al-Khofi
2.      Al-Musykil 
3.      Al-Mujmal
4.      Al-Mutasyabih
Pembagian tingkatan ini jelas telah disepakati ulama Hanafiyah dan tidak ada perselisihan diantara ulama terdahulu dan kontemporer.[6] Jika ketidakjelasannya dapat dipahami dengan akal disebut al-musykil. Dan jika ketidakjelasan dalilnya dapat dipahami dengan naqli, tidak dengan akal disebut al-mujmal.
Al-khofi berlawanan dengan adz-dzohir, al-musykil  dengan nash, al-mujmal  dengan mufassir, dan al-mutasyabih dengan muhkam.[7]
B.     Tingkatan-tingkatannya
Pada kaidah ini, penulis akan menerangkan macam-macam nash yang tidak jelas dalalahnya, dan tingkatan-tingkatan kesamarannya, serta sesuatu yang menghilangkan kesamarannya.
Berikut ini adalah penjelasan maksud peristilahan masing-masing dari empat macam tersebut berikut contoh dan hukumnya:
1.        Al-Khofi
Pengertian khafi menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi.[8] Al-khofi adalah lafal yang menunjukkan makna arti secara jelas dari lafadz aslinya, akan tetapi dalam menerapkan arti makna pada sebagian satuannya mengandung ketidakjelasan dan kesamaran.[9]
Sebab kemunculan kesamaran ini ialah bahwasannya satuan tertentu didalamnya ada suatu sifat yang melebihi terhadap satuan-satuan lainnya, atau satu sifat berkurang dari satuan itu atau ia mempunyai suatu nama khusus. Tambahan, atau kekurangan, atau penamaan khusus ini menjadikannya sebagai tempat keserupaan. Oleh karena itu, makna lafadz tersebut adalah samar dalam konteksnya dengan satuan ini, karena pencakupannya terhadap satuan ini tidak dapat dipahami dari lafadz itu sendiri, bahkan ia haruslah dengan suatu hal yang khariji (eksternal).[10]
Contohnya:
Makna pada nash ini jelas, akan tetapi pada penerapan disebagian makna lain terdapat kesamaran. Seperti halnya kata as-saariq,[11] pencuri yang artinya mengambil barang orang lain secara sembunyi-sembunyi. Kemudian diterapkan pada sebagian satuan maknanya yaitu kata pencopet, korupsi, pencuri barang-barang dalam kuburan, kata ini mengandung makna yang samar sehingga membutuhkan penelitian yang mendalam dan ijtihadnya para ulama. Pencopet lebih bermakna mengambil barang orang lain secara terang-terangan. Perbedaan dengan pencuri adalah pencopet memiliki keberanian mencuri sehingga ia lebih khusus penamaannya. Sedangkan yang mencuri harta mayit dengan menggali kuburannya, sedikit orang yang menjadikan ia sebagai pencuri. Karena ia mencuri harta yang tidak ada kepemilikannya dan penjagaannya.
Dan para ulama bersepakat jika pencopet itu sebagai pencuri yang harus dipotong tangan dengan dalil dari nash yang jelas, sedangkan pencuri harta mayit ulama berselisih dalam penetapannya. Imam asy-Syafi’i dan Abu Yusuf berkata ia ditetapkan sebagai pencuri dan harus dipotong tangan, sedangkan sebagian ulama Hanafiyah berkata ia bukan pencuri maka tidak harus dipotong tangan, namun cukup dipenjarakan.[12]
Hukum al-khofi yaitu diwajibkan pencarian dan penelitian yang mendalam untuk menjelaskan maknanya. Memikirkan sebab ketidakjelasannya, dan setiap ahli ilmu memiliki pandangan masing-masing.[13] Dan wajib bagi mujtahid mencari makna sampai menjelaskannya dari lafadz yang samar tersebut.[14]

2.      Al-Musykil
Secara bahasa, al-musykil adalah ketidakjelasan, kekacauan, kesamaran. Menurut ulama ushul adalah sesuatu yang tidak dapat dipahami sampai ada dalil lain yang menjelaskannya.[15]
Musykil adalah lafadz yang tidak jelas maknanya, maka tidak mungkin dapat memahaminya kecuali dengan penelitian yang mendalam sehingga diperlukan qarinah dan dalil lain yang dapat menjelaskannya. Perbedaannya dengan khofi yaitu pada dzat lafadznya, sedangkan musykil pada dzat nashnya yang tidak dapat dipahami kecuali dengan dalil lain.[16]
Kemunculan dalam nash, terkadang dari lafadz yang musytarak. Karena lafadz musytarak ditetapkan menurut bahasa untuk lebih dari satu makna. Sedangkan dalam shigatnya tidak terdapat suatu penunjukkan kepada makna tertentu yang ditetapkan untuknya. Oleh karena itu, maka harus ada qarinah yang eksternal yang menunjukkannya.[17]
Contohnya:
Contoh musykil adalah adalah lafadz musytarak (polisemi: lafadz yang menunujukkan dua arti atau lebih secara bergantian),[18] seperti kata quru’, ‘ain.
Pada kata quru’ dalam firman ta’ala,[19] ini musytarak antara haidh dan suci Terdapat kesulitan dalam memahami kata ini, apakah itu haidh atau suci?
Madzhab Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat quru’ ini adalah haidh. Dengan merujuk pada hadits, ( عِدَّةُ الْأَمَةِ حَيْضَتَانِ ), dan tidak ada perbedaan antara budak dengan wanita merdeka dalam hal iddah ini.
Demikian juga hadits ( اَلْمُسْتَحَاضَةُ تَدْعُ الصَّلاَةَ أَيَامُ وَأَقْرَائِهَا ), ini menjelaskan bahwasannya disyariatkannya iddah ini untuk mengetahui sucinya rahim dari sebab kehamilan, dan semua itu akan diketahui dengan haidh. Qarinahnya ialah:
Pertama : hikmah pentasyri’an iddah. Hikmah dalam pewajiban iddah diatas wanita yang ditalak ialah mengetahui kebersihan rahimnya dari kehamilan. Sedangkan yang memberitahukan hal ini adalah haidh bukan suci.
Kedua : Firman Allah ta’ala :
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Artinya :
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (menopause) diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh”.[20]
Firman tersebut menetapkan alasan iddah dengan beberapa bulan karena ketiadaan haidh. Ini menunjukkan bahwa asalnya beriddah adalah dengan haidh.
Ketiga : Sabda Rasulullah SAW., :
طَلاَقُ الْاَمَةِ ثِنْتَانِ وَ عِدَّ تُهَا حَيْضَتَانِ
Artinya :
“Talak hamba sahaya perempuan dua kali, dan iddahnya dua kali haidh”.
Penegasan bahwa iddah hamba sahaya perempuan dengan haidh merupakan penjelasan terhadap yang dimaksud dengan lafadz al-qur’u dalam iddah perempuan yang merdeka. Adapun pentaksisan nama hitungan, maka ia dimaksudkan untuk kemudzakaram lafadz yang dihitungnya, yaitu lafadz al-qur’u.
Sedangkan pendapat madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah menyatakan makna quru’ ini adalah suci. Karena pentafsiran kata quru’ adalah suci lebih dekat dengan kata aslinya. Tidak diragukan juga bahwasannya masa suci adalah berkumpulnya darah didalam rahim, sedangkan masa haidh adalah masa mengeluarkannya darah. Qarinahnya ialah pentaknitsan isim ‘adad (nama hitungan), karena hal itu menunjukkan bahwasannya yang dihitung adalah mudzakkar (laki-laki), yaitu suci, bukan haidh.[21]
Hukum musykil ini adalah harus adanya penelitian dan pemikiran makna kata lafadz musykil ini, kemudian menjelaskannya dengan menggunakan qorinah dan dalil dari luar seperti nash lain, kaidah syara’ dan hikmah pentasyri’annya.[22] Tidak boleh mengamalkannya sebelum mengetahui maknanya.[23] Dan mempercayainya bahwa ini adalah kebenaran.[24] Sehingga membutuhkan penelitian makna lafadz yang samar ini kemudian berijtihad mengeluarkan maknanya dengan qorinah dan dalil lain.[25]
Jalan untuk menghilangkan kemusykilan nash yang musykil adalah ijtihad. Apabila ada lafadz musytarak dalam nash, maka seorang mujtahid harus mempergunakan saran qarinah dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh pembuat hukum untuk kemusykilannya dan menentukan yang dimaksud dari lafadz itu, sebagaimana ternyata dari ijtihad para mujtahid dalam menentukan maksud lafadz al-qur’u dalam ayat tersebut, dan perbedaan orientasi pandangan mereka dalam penetuan ini. Apabila ada nash-nash yang dzahirnya saling bertentangan dan kontradiksi, maka seorang mujtahid haruslah mentakwilnya dengan suatu pentakwilan yang shahih yang mengsistensiskan antara nash-nash itu dan menghilangkan sesuatu yang ada pada dzahirnya terdapat kontradiksi dan pertentangan. Pedomannya dalam pentakwilan ini ialah ada kalanya nash lain, atau kaidah-kaidah syara’, atau hikmah pentaysri’an.[26]
Kata yang mengandung musykil tidak bisa ditentukan satu arti tertentu dari beberapa makna yang dikandungnya, kecuali dengan melihat dalil.[27]
3.      Al-Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak terperinci.[28] Mujmal adalah lafadz yang tersembunyi maknanya dengan kesamaran lafadznya sendiri, tidak akan mengetahuinya kecuali dengan penjelasan, tidak juga memahaminya tanpa adanya qorinah yang menjelaskan makna lafadz tersebut.[29] Dan secara umum mujmal adalah lafadz yang tersembunyi maknanya dan tidak akan mungkin memahami maknanya kecuali dengan adanya penjelasan.[30] Jadi sebab kesamaran adalah bersifat lafadz (tekstual), bukan hal yang datang kemudian.[31] Al-Bazdawy berkata dalam kitab ushulnya, mujmal merupakan suatu lafadz yang maknanya mengandung ketidakjelasan dan kesamaran, tidak dapat memahaminya dengan kata itu sendiri. Akan tetapi harus kembali pada penjelasan dengan suatu penelitian. Artinya, apa yang dimaksudkan tidak bias diketahui begitu saja dari ungkapan itu sendiri, tetapi harus ditafsirkan, diteliti, dan dipikirkan secara mendalam.[32]
Macam-macam mujmal:[33]
a.       Mujmal mufassir, adalah lafadz yang maknanya berbenturan antara mufassir dengan syar’i dari makna itu sendiri, seperti dirikanlah shalat.
b.      Mujmal musykil, adalah lafadz yang berbenturan maknanya dan belum dijelaskan oleh syar’i dan meninggalkan perkana ini menuju pada mujtahid.
c.       Mujmal musytarik, adalah lafadz yang berbenturan maknanya dan dapat dicabut qarinah maknanya pada salah satu makna.
Sebab-sebab mujmal:[34]
a.       Adanya isytirak tanpa adanya qorinah, seperti lafadz tuan atau majikan.
b.      Keasingannya lafadz dalam bahasa, seperti kalimat al-qari’ah, al-haqqah. Tidak dapat kedua makna ini sampai Allah menjelaskan maknanya. Dan maksudnya adalah hari kiamat.
c.       Kekurangannya makna lughawi terhadap makna istilah syar’i. seperti lafadz shalat, zakat, dan riba.
Contohnya:
Banyak contoh kata-kata yang khusus dari al-Qur’an mengenai hukum taklifinya yang berbentuk mujmal. Sehingga memutuskan hukum dan menjelaskan ketentuan-ketentuannya harus dengan sunnah. Perintah shalat, misalnya, suatu perkara yang mujmal dan penjelasannya dengan sunnah dalam bentuk perkataan dan perbuatan Rasulullah. Sebagaimana sabdanya, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat”.[35]
Demikian pula dengan lafadz mujmal lainnya, seperti zakat, puasa haji, dan riba, serta segala sesuatu yang datang secara mujmal dalam nash-nash al-Qur’an.[36]
Demikian, kita tidak mendapatkan mujmal disebutkan dalam al-Qur’an kecuali dengan penjelasan dari sunnah dan hukum-hukumnya secara terperinci.[37]
Hukum mujmal, tidak boleh mengamalkannya sampai maknanya jelas kembali pada aslinya dengan penjelasan syari’at lain yang sejelas-jelasnya. Jika belum ada penjelasan secara jelas maka mujmal itu mengandung musykil dan mujtahid akan memisahkan mujmal dari kemusykilannya.[38]
4.      Al-Mutsyabih
Mutsyabih secara bahasa diambil dari kata at-tasyabuh yang berarti ketidakjelasan, kesamaran atau kekacauan.[39]
Secara istilah, mutasyabih adalah lafadz yang tersembunyi maknanya, dan tidak ada jalan untuk mengetahui makna tersebut, dan tidak mungkin tercapai oleh nalar akal para ulama sekalipun dalam menerangkannya. Tidak didapatkan juga pentafsiran makna ini, baik secara qathi’ maupun dzanni dari al-Qur;an maupun sunnah.[40]
Dalam pembahasan ini kita akan membicarakan 2 perkara, sebagai berikut:
a.       Adanya mutasyabih didalam al-Qur’an. Tidak satupun manusia yang mengetahunya kecuali Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, surat Ali Imran ayat 7.
Para ulama bersepakat dengan adanya mutasyabih dalam nash al-Qur’an.[41] Akan tetapi, para ulama berselisih dalam hal peletakan mutasyabih ini. Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada mutasyabih dalam al-Qur’an kecuali huruf-huruf muqotho’ah pada awal surat, dan sumpahnya Allah ta’ala dalam al-Qur’an,[42] sebagaimana termaktub dalam firman-Nya.
Sebagian para ulama menambahkan ayat-ayat yang didalamnya mengandung persamaan dengan Allah. Seperti halnya tangan Allah, yang terdapat pada surat Al-Fath ayat 3.
b.      Ayat-ayat yang berisi tentang taklif, dan penjelasan hukum-hukum syari’at islam yang didalamnya tidak mengandung tasyabuh saja. Akan tetapi, semuanya menjelaskan secara jelas, baik pada dzat lafadznya maupun dengan penjelasan hadits Nabi SAW.[43]
Contohnya:
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, contok lafadz yang mengandung mutasyabih diantaranya:
Huruf-huruf muqotho’ah yang terdapat pada awal surat dalam al-Qur’an,[44] seperti :
ألم، الر، حم، كهيعص، ص، ن
Sifat-sifat Allah yang menggambarkan kemiripan dengan makhluk-Nya, seperti tangan, mata, tempat semayam.
Sumpah Allah dalam al-Qur’an, yang terdapat pada surat Al-Qari’ah ayat 1-3.
Huruf-huruf abjad yang terpotong-potong pada permulaan sebagian surat tidaklah mungkin menunjukkan dengan sendirinya terhadap maksudnya. Allah tidaklah menafsirkan apa yang dikehendaki-Nya dari huruf-huruf itu. Dialah yang paling tahu maksudnya. Demikian pula ayat-ayat yang dzahirnya menimbulkan dugaan penyerupaan Khaliq dengan makhluk-Nya, tidak mungkin dari ayat tersebut dipahami pengertian lafadz itu secara kebahasaan, seperti tangan, mata, tempat dan segala sesuatu yang menyerupai makhluk-Nya. Tiada sesuatu yang semisal Dia. Allah tidak menjelaskan apa yang dikehendaki-Nya dari lafadz-lafadz itu. Dia Yang paling tahu dengan maksud-Nya. Ini adalah pendapat ulama salaf mengenai pengertian mutasyabih. Mereka menyerahkan kepada pengetahuan Allah dan mengimaninya, serta tidak membahasnya dengan mentakwilnya. Adapun pendapat Khalaf, bahwasannya ayat ini dzahir maka wajib ditakwilkan dan dipalingkan dari yang dzahir itu, dan dimaksudkan makna yang mungkin bagi lafadz itu, meskipun dengan cara majaz, yang tidak ada penyerupaan Khaliq dengan makhluk-Nya.[45]
III.        Penutup
Demikianlah yang telah kami jelaskan tentang nash yang tidak jelas dalalahnya. Al-Qur’an diturunkan begitu indah bahasanya. Sehingga tak ada satu makhluk pun yang dapat menyaingi-Nya. Karena Allah menurunkan ayat pada Rasul-Nya tidak semua harus dapat dipahami secara nash itu sendiri.
Ada yang harus dengan dalil lain sebagai penjelasnya seperti halnya mujmall. Ada juga yang makna katanya sejenis dan samar sehingga mengetahui makna nash ini harus dengan penggalian dan penelitian yang lebih mendalam lagi. Bahkan, ada makna dalam nash ini tidak dijelaskan sama sekali seperti halnya mutasyabih. Dan tidak ada satu orang pun yang dapat memahaminya kecuali Allah yang telah menurunkan nash itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul ‘Al, DR. Abdul Hayy. Pengantar Ushul Fikih, Penerj. Muhammad Misbah, Lc., M. Hum. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014M)
Abu Zahroh, Muhammad. Ushul Fiqh, (t.tp: Darul Fikr al-Arabi, t.th.t)
Al-Bardisy, Muhammad Zakariya. Ushul Fiqh, (Qohiroh: Darul Tsaqofah, t.th.t)
Al-Hadhry, Muhammad. Ushul Fiqh, Cet.6, (Mesir: Maktabah At-Tijariyah Al-Kubro, 1969M)
As-Salmi, ‘Iyadh bin Namiy. Ushul Fiqh al-Ladzi Laa Yasi’u al-Faqih Jahluhu, (Riyadh: t.p, t.th.t)
Az-Zuhaili, DR. Wahbah. Al-Wajiz Fii Ushul Fiqh, Cet.1, (Damaskus: Darul Fikr, 1995M)
Khallaf, Prof. Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA., Cet.1 (Semarang: Dina Utama, 1994M)
Syafe’i, MA., Prof. DR. Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2010M)
Syalbi, Muhammad Mushtofa. Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Darul Jami’iyah, t.th.t)
Unais, DR. Ibrahim. et.all, Mu’jam al-Wasith (Qohirah: t.p, 1972M)


[1] DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul Fiqh, Cet.1,(Damaskus: Darul Fikr, 1995M) hlm.163
[2] DR. Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fikih, Penerj. Muhammad Misbah, Lc., M. Hum. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014M) hlm.253
[3] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA., Cet.1, (Semarang: Dina Utama: 1994M) hlm.259
[4] DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul Fiqh,... hlm.182, Muhammad Mushtofa Syalbi, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut, Darul Jami’iyah, t.th.t) hlm.474
[5] Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh, (Qohiroh: Darul Tsaqofah, t.th.t) hlm.390, Muhammad al-Hadhry, Ushul Fiqh, Cet.6, (Mesir: Maktabah At-Tijariyah Al-Kubro, 1969M) hlm.135
[6] Muhammad Mushtofa Syalbi, Ushul Fiqh al-Islami,… hlm.474
[7] Muhammad Mushtofa Syalbi, Ushul Fiqh al-Islami,… hlm.475
[8] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010M) hlm.164
[9] DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul Fiqh,... hlm.182
[10] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA.,… hlm.260
[11] Pada surat Al-Maidah ayat 38
[12] Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,… hlm.391
[13] DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul Fiqh,... hlm.183
[14] ‘Iyadh bin Namiy as-Salmi, Ushul Fiqh al-Ladzi Laa Yasi’u al-Faqih Jahluhu, (Riyadh: t.p, t.th.t), hlm.403
[15] DR. Ibrahim Unais , et.all Mu’jam al-Wasith (Qohirah: t.p, 1972M), hlm.517
[16] Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,… hlm.392
[17] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA.,… hlm.260
[18] DR. Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fikih, Penerj. Muhammad Misbah, Lc., M. Hum.,… hlm.250
[19] QS. Al-Baqarah : 228
[20] QS. Ath-Thalaq : 4
[21] DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul Fiqh,... hlm.185, Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,… hlm.394, Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA.,… hlm.263
[22] DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul Fiqh,... hlm.185
[23] Muhammad Mushtofa Syalbi, Ushul Fiqh al-Islami,… hlm.479
[24] ‘Iyadh bin Namiy as-Salmi, Ushul Fiqh al-Ladzi Laa Yasi’u al-Faqih Jahluhu,… hlm.404
[25] Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh, hlm.393
[26] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA.,… hlm.264
[27] DR. Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fikih, Penerj. Muhammad Misbah, Lc., M. Hum.,… hlm.250
[28] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqih,… hlm.166
[29] Muhammad Mushtofa Syalbi, Ushul Fiqh al-Islami,… hlm.479, DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul Fiqh,... hlm.185
[30] Muhammad al-Hadhry, Ushul Fiqh, hlm.135, Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,… hlm.393, ‘Iyadh bin Namiy as-Salmi, Ushul Fiqh al-Ladzi Laa Yasi’u al-Faqih Jahluhu,… hlm.404
[31] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA.,… hlm.265
[32] Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh, (t.tp: Darul Fikr al-Arabi, t.th.t) hlm.131, DR. Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fikih, Penerj. Muhammad Misbah, Lc., M. Hum.,… hlm.250
[33] Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,… hlm.394
[34] DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fii Ushul Fiqh,... hlm.186
[35] Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh,… hlm.131, DR. Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fikih, Penerj. Muhammad Misbah, Lc., M. Hum.,… hlm.250
[36] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA.,… 265
[37] Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh,… hlm.131, DR. Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fikih, Penerj. Muhammad Misbah, Lc., M. Hum.,… hlm.250
[38] Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,… hlm.394
[39] Muhammad Mushtofa Syalbi, Ushul Fiqh al-Islami,… hlm.481
[40] Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh,… hlm.134
[41] Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,… hlm.395
[42] Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh,… hlm.134
[43] Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh,… hlm.135, Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,… hlm.395
[44] Muhammad Zakariya al-Bardisy, Ushul Fiqh,… hlm.395
[45] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Penerj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA.,… hlm.269